HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Ayik Heriansyah merasa heran mengapa HTI (Hizbut Tahirir Indonesia) tidak bisa disentuh oleh hukum sekalipun sudah ada larangan sosialisasi Khilafah dan organisasinya dibubarkan.
“Sesakti itukah HTI sampai hari ini tidak tersentuh hukum? Padahal sudah 8 tahun menjadi organisasi terlarang. Bandingkan dengan JAD, JI, KM dan NII,” kata Ayik dalam keterangan tertulisnya yang diterima Holopis.com, Senin (3/2/2025).
Di samping itu, pasca dibubarkan oleh negara melalui putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, embrio organisasi tersebut masih terus bergerak sampai dengan saat ini di Indonesia.
Bahkan kata dia, banyak guru besar hingga doktor dengan pendidikan tinggi menjadi bagian dari simpatisan HTI dan kampanye Khilafah di Indonesia. Hal ini yang membuat dirinya cukup terheran dengan organisasi yang sempat dipimpin oleh Rokhmat S Labib tersebut.
“Sesakti itukah HTI sampai punya belasan Guru Besar (Profesor), puluhan doktor, ratusan magister dan ribuan sarjana yang bekerja di berbagai instansi pemerintah dan swasta? Bandingkan JAD, JI, KM, dan NII,” tukasnya.
Yang tak kalah mengherankan, mengapa kampanye Khilafah oleh para aktivis mereka justru tetap mendapatkan pengawalan dari institusi keamanan negara, seperti Polri. Sementara kelompok Jamaah Ansharu Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), dan sebagainya tak mendapatkan pelayanan serupa dari negara.
Hingga akhirnya, organisasi tersebut memiliki banyak jaringan pesantren dan yayasan filantropi untuk menghimpun dana donatur secara legal.
“Sesakti itukah HTI sampai aksi kampanye khilafah mereka dikawal polisi? Bandingkan dengan JAD, JI, KM dan NII yang sembunyi di lubang semut pun dijemput Densus 88,” sambungnya.
Negara Tak Mampu Berbuat Apa-apa
Dengan segala kondisi yang disebutkannya itu, ia masih merasa heran mengapa negara seperti tidak memiliki kemampuan apa pun untuk membereskan persoalan Khilafah ala Hizbut Tahrir tersebut. Padahal jelas doktrin mereka adalah mengganti Pancasila dan mengubah NKRI menjadi daulah islamiyah (negara Islam).
“Bukan berarti saya membangga-banggakan mereka, melainkan ingin menunjukkan realitas yang ironis dan miris. Bagaimana aparat dibuat tidak berkutik, mati kutu dan mati gaya ketika berhadapan dengan mereka,” terang Ayik.
Ia menduga bahwa aparat negara masih menunggu realisasi payung hukum untuk bisa menindak para pengasong Khilafah tersebut, yakni melalui KUHP hasil revisi, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di mana regulasi tersebut akan efektif berlaku bulan Januari 2026 mendatang.
Di mana ada satu pasal yang bisa membuat para pengasong Khilafah tak akan bisa berkutik sama sekali karena aktivitas penyebaran ideologi Khilafah mereka benar-benar dapat dilarang. Yakni pada pasal 188 KUHP.
“Mungkin satu lagi langkah yang dapat dilakukan aparat untuk menghentikan HTI, yaitu dengan KUHP baru yang berlaku tahun depan. Pada pasal 188 yang terdapat pada Bab 1 Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara; Bagian 1 Tindakan Pidana Terhadap Ideologi Negara; Paragraf 1 Penyebaran dan Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau Paham Lain yang Bertentangan dengan Pancasila,” paparnya.
Dengan menggunakan pasal tersebut, maka siapa pun yang masih ikut terlibat di dalam gerakan ala HTI dapat diseret ke meja hijau dengan dalil menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan eksistensi Pancasila.
“Oknum-oknum pengurus dan aktivis HTI dapat dipersangkakan sebagai setiap orang yang mengembangkan, menyebarkan dan memperjuangkan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila,” tandas Ayik.
Bunyi Pasal 188 KUHP ;
(1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian Harta Kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan orang menderita Luka Berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(6) Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Sebagai catatan, Ayik menjelaskan bahwa Pasal 188 KUHP yang baru tersebut tak bisa serta merta menjerat seseorang karena terafiliasi dengan Hizbut Tahrir. Sebab, pasal tersebut hanya berlaku sejak UU berlaku, sementara aktivitas HTI sebelumnya tidak dianggap, bahkan organisasinya pun telah dibubarkan sejak tahun 2017 lalu.
Karena asas hukum mengatakan: Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Disebut asas legalitas. Artinya tidak ada satu kesalahan atau tidak ada satu yang dilarang sampai ada UU yang melarangnya terlebih dahulu. KUHP baru menganut asas legalitas jadi tidak berlaku surut.
“Pasal tersebut hanya berlaku untuk kegiatan kampanye khilafah HTI terhitung sejak 1 Januari 2026 sampai seterusnya. Jadi, kegiatan HTI dari tahun 1980-an sampai 31 Desember 2025 tidak dapat dihukum,” tutur Ayik.
Karena lembaga HTI bukan lagi objek hukum karena sudah dianggap tidak ada. Maka HTI sudah dinyatakan tidak ada atau hilang sejak badan hukum perkumpulan mereka dicabut. Namun impliklasinya, seseorang tidak dapat dihukum dengan dinisbatkan kepada organisasi HTI.
“Lain halnya, apabila pengadilan menetapkan HTI sebagai organisasi terlarang,” tandas Ayik.
Entitas HTI hanya akan bisa ditindak berdasarkan hukum yang berlaku jika ada nomenklatur dalam putusan pengadilan yang menyebut jika HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi terlarang, sama halnya ketika instrumen hukum memberikan label terlarang kepada organisasi ektremis lainnya, seperti ; JAD, JI dan sebagainya.
“Atau pengadilan menetapkan HTI sebagai organisasi teroris sebagaimana JAD dan JI, maka seseorang dapat dihukum karena terlibat HTI dengan UU Anti Terorisme. Di negara Turki, Pakistan, Denmark, Rusia, Jerman, Inggris, dan Perancis, Hizbut Tahriri ditetapkan sebagai organisasi teroris. Mereka dihukum dengan UU Anti Terorisme,” jelasnya.
Oleh sebab itu, jika melihat instrumen hukum yang ada saat ini, Ayik menganggap bahwa negara tidak akan mampu membendung ideologi Khilafah yang dipaparkan oleh aktivis dan simpatisan HTI.
Ditambah lagi menurut Ayik, belum ada kesadaran kolektif dari masyarakat secara masif tentang potensi dan ancaman di balik gerakan HTI dan Khilafah yang dikampanyekan. Bahkan menurut dia, HTI akan terus melakukan secara gigih melawan pemerintah, namun trik mereka tidak dengan cara ekstremis dan radikalis seperti JAD, JI dan sebagainya, melainkan melalui propaganda pemikiran dan politik.
“Menghukum Hizbut Tahrir di Indonesia memang rumit dan ruwet. Di samping perangkat hukum masih lemah, kesadaran pemerintah dan masyarakat tentang bahaya HTI belum merata,” papar Ayik.