Kredit Motor Tanpa Kendali Picu Konflik Sosial, Kerusuhan Kalibata Disinggung
HOLOPIS.COM, JAKARTA – Maraknya konflik antara konsumen dan perusahaan pembiayaan sepeda motor dinilai telah berkembang menjadi persoalan sosial yang serius.
Pegiat Perlindungan Konsumen sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi menyebut praktik kredit sepeda motor yang tidak terkendali telah membuat jutaan konsumen gagal bayar, sekaligus memicu kekerasan di lapangan.
Tulus mengungkapkan, kerusuhan di Kalibata, Jakarta Selatan, pada 11 Desember 2025 lalu merupakan dampak lanjutan dari persoalan kredit macet yang melibatkan konsumen, perusahaan leasing, hingga debt collector.
“Peristiwa kerusuhan di Kalibata sejatinya bukan murni kriminalitas, tetapi persoalan sengketa perlindungan konsumen, khususnya di bidang jasa keuangan (financial services),” ungkap Tulus dalam keterangan tertulis, dikutip Holopis.com, Senin (29/12/2025).
Dia pun menyoroti promosi industri sepeda motor yang seolah membius masyarakat, banyak yang jor-joran menampilkan keunggulan dari sepeda motor mereka.
Menurutnya, promosi agresif tersebut justru menyasar kelompok masyarakat yang secara ekonomi sebenarnya tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengambil kredit sepeda motor.
“Promosi tersebut akibatnya menjerat kelompok konsumen dan rumah tangga, yang sejatinya tak mampu mengredit sepeda motor. Dampaknya konsumen mengalami gagal bayar (default),” lanjutnya.
1,7 Juta Konsumen Gagal Bayar
Tulus membeberkan, saat ini skala persoalan kredit macet sepeda motor sudah berada pada level mengkhawatirkan. Data menunjukkan lebih dari satu juta konsumen terjebak dalam gagal bayar.
“Saat ini lebih dari 1,7 juta konsumen mengalami gagal bayar terhadap leasing sepeda motornya. Fenomena ini lebih dipicu karena persoalan ekonomi dari konsumen. Konsumen mengalami kredit macet,” tegasnya.
Ia menilai, kondisi tersebut menjadi titik awal munculnya sengketa perdata antara konsumen dan perusahaan leasing, yang kemudian menyeret pihak ketiga dalam proses penagihan.
“Inilah yang menjadi persoalan krusial sengketa perdata antara konsumen dengan perusahaan leasing dan kemudian melibatkan pihak ketiga, yakni juru tagih alias debt collector,” kata Tulus.
Keterlibatan debt collector inilah yang kerap memicu konflik terbuka, intimidasi, hingga kekerasan fisik di masyarakat.
Penjualan Motor Dinilai Tanpa Kendali
Selain promosi berlebihan, Tulus juga menyoroti praktik penjualan sepeda motor yang dinilainya terlalu berorientasi pada kepentingan industri jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan keselamatan.
“Keempat, penjualan sepeda motor yang tanpa kendali, hanya mengusung aspek ekonomi jangka pendek dan industri sepeda motor,” ungkapnya.
Ia menilai kebijakan uang muka kredit sepeda motor sebesar 30 persen terbukti tidak efektif karena mudah diakali oleh perusahaan pembiayaan.
“Pengendalian dengan kebijakan uang muka 30 persen terbukti tidak efektif, karena banyak diakali oleh perusahaan leasing. Harus dengan cara lain yang lebih kuat, misalnya membeli sepeda motor harus cash (seperti di Iran), atau dengan asuransi keselamatan yang tinggi seperti di negara negara Eropa,” ujar Tulus.
Kekerasan Jadi Konsekuensi Sistemik
Tulus menegaskan, berbagai kasus kekerasan yang melibatkan debt collector bukanlah insiden tunggal, melainkan konsekuensi dari sistem pembiayaan yang lemah pengendalian.
“Tindakan kekerasan dan kriminalitas yang dipicu oleh sengketa leasing sepeda motor sudah sangat sering terjadi, korbannya bisa dari kedua belah pihak,” katanya.
Ia menilai, kerusuhan di Kalibata merupakan puncak dari persoalan yang telah lama dibiarkan tanpa solusi menyeluruh.
“Kerusuhan di Kalibata adalah klimaks dari persoalan yang selama ini terjadi, dan hal tersebut merupakan fenomena gunung es, yang berpotensi terjadi kembali di lokasi lain,” pungkasnya.
Tulus pun mendorong adanya kebijakan konsisten dari hulu hingga hilir agar praktik pembiayaan sepeda motor tidak lagi memicu konflik sosial di tengah masyarakat.