Polemik Tumpukan Sampah di Tangsel Terus Berulang, Pengamat: Masalah ‘CLBK’


Oleh : Fisca Dwi Astuti

HOLOPIS.COM, JAKARTA - Sampah yang menggunung di sejumlah ruas jalan utama Tangerang Selatan kembali memantik keresahan publik. Tumpukan limbah rumah tangga itu muncul seiring penuhnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang yang selama ini menjadi satu-satunya lokasi pembuangan sampah bagi kota tersebut.

Kondisi ini membuat pengangkutan sampah tersendat dan memunculkan bau menyengat di sejumlah titik permukiman.

Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna menilai persoalan tersebut bukan hal baru. Ia menyebut krisis sampah di Tangerang Selatan sebagai masalah lama yang terus berulang karena tidak pernah diselesaikan dari akarnya.

“Masalah sampah di Tangerang Selatan ini kategori CLBK: Cucian Lama Belum Kering. Ini persoalan yang sudah lama tapi terus dibiarkan,” kata Yayat kepada Holopis.com, Sabtu (27/12).

Menurutnya, akar masalah terletak pada ketergantungan kota terhadap satu TPA tanpa alternatif yang realistis.

“Dari awal Tangerang Selatan itu hanya punya satu TPA. Padahal dulu direncanakan ada dua, tapi satu lokasi alternatif akhirnya terkunci dalam tata ruang sebagai kawasan perumahan,” ujarnya.

Dilema Tata Ruang dan Overkapasitas

Yayat menjelaskan, keputusan tata ruang tersebut membuat Tangerang Selatan terjebak dalam dilema berkepanjangan.

“Kalau daya tampung TPA hanya 400 ton per hari sementara produksi sampahnya bisa mendekati 1.000 ton, itu sudah pasti tidak akan pernah cukup,” katanya.

Ia menegaskan, pengembangan TPA Cipeucang bukan solusi yang realistis.

“TPA ini pernah ambruk karena over capacity dan mencemari Sungai Cisadane. Padahal Cisadane itu sumber air baku bagi banyak wilayah, dari Kota Tangerang sampai kawasan perumahan besar seperti BSD dan Alam Sutera,” ucap Yayat.

Menurutnya, sisa lahan yang ada di sekitar TPA juga tidak lagi mendukung pengembangan jangka panjang.

“Mau ditambah delapan ribu meter lagi pun rasanya sudah tidak relevan. Secara lingkungan dan tata kota, risikonya terlalu besar,” katanya.

Open Dumping Dinilai Tak Relevan

Yayat menilai pendekatan pengelolaan sampah konvensional sudah tidak cocok diterapkan di kota urban seperti Tangerang Selatan.

“Open dumping atau sekadar sanitary landfill dengan pola timbun-ratakan itu sudah mentok. Kalau sudah seperti gunung, mau diapakan lagi?” ujarnya.

Ia menekankan bahwa pendekatan darurat yang selama ini dilakukan justru membuat masalah terus berulang.

“Setiap kali krisis, responsnya selalu jangka pendek. Padahal sampah itu tidak pernah berhenti diproduksi setiap hari,” katanya.

Dorong Sampah Jadi Energi

Sebagai solusi, Yayat mendorong perubahan paradigma pengelolaan sampah menuju konsep pengelolaan sampah menjadi energi listrik atau PSEL.

“Satu-satunya cara adalah mengubah konsep pengelolaannya. Sampah harus diolah jadi energi, bukan hanya ditimbun,” ujarnya.

Ia menyebut, konsep tersebut sebenarnya sudah pernah dicoba di Bantargebang dan kini memiliki peluang lebih besar karena adanya kebijakan pembelian listrik berbasis sampah.

“Danantara sudah mengarahkan PLN untuk membeli listrik dari sumber-sumber PSEL di kota-kota. Ini peluang yang harus ditangkap,” katanya.

Belajar dari Singapura

Yayat juga mengajak Tangerang Selatan belajar dari negara lain yang berhasil mengelola sampah secara modern.

“Lihat Singapura. Sampahnya tidak kelihatan karena diolah jadi listrik. Residu plastik bisa jadi aspal, sampah organik jadi kompos untuk penghijauan kota,” tuturnya.

Menurutnya, jika dikelola secara terintegrasi dan didukung pembiayaan yang kuat, kota-kota di Jabodetabek bisa menjadi pelopor pengelolaan sampah berkelanjutan.

“Pendekatannya harus jangka menengah dan panjang, terencana, dan bersinergi dengan kebutuhan energi. Kalau tidak, krisis seperti ini akan terus berulang,” pungkas Yayat.

Diketahui, Pemerintah pusat mencatat, kapasitas TPA Cipeucang hanya mampu menampung sekitar 400 ton sampah per hari.

Sementara itu, produksi sampah di Tangerang Selatan mencapai sedikitnya 800 ton per hari dan bisa melonjak hingga 1.000 ton pada waktu tertentu. Ketimpangan antara kapasitas dan volume inilah yang membuat krisis sampah di Tangsel berulang tanpa solusi tuntas.

Tampilan Utama
/