Belajar dari Singapura
Yayat juga mengajak Tangerang Selatan belajar dari negara lain yang berhasil mengelola sampah secara modern.
“Lihat Singapura. Sampahnya tidak kelihatan karena diolah jadi listrik. Residu plastik bisa jadi aspal, sampah organik jadi kompos untuk penghijauan kota,” tuturnya.
Menurutnya, jika dikelola secara terintegrasi dan didukung pembiayaan yang kuat, kota-kota di Jabodetabek bisa menjadi pelopor pengelolaan sampah berkelanjutan.
“Pendekatannya harus jangka menengah dan panjang, terencana, dan bersinergi dengan kebutuhan energi. Kalau tidak, krisis seperti ini akan terus berulang,” pungkas Yayat.
Diketahui, Pemerintah pusat mencatat, kapasitas TPA Cipeucang hanya mampu menampung sekitar 400 ton sampah per hari.
Sementara itu, produksi sampah di Tangerang Selatan mencapai sedikitnya 800 ton per hari dan bisa melonjak hingga 1.000 ton pada waktu tertentu. Ketimpangan antara kapasitas dan volume inilah yang membuat krisis sampah di Tangsel berulang tanpa solusi tuntas.



