KARAWANG – Puluhan petani di Dusun Pasar, Desa Kampungsawah, Kecamatan Jayakerta, Kabupaten Karawang, terpaksa melakukan perbaikan pintu air secara swadaya setelah hampir 100 hektare lahan persawahan tergenang air di tengah musim panen akhir 2025. Genangan tersebut berdampak langsung pada penurunan hasil panen dan meningkatnya beban biaya produksi petani.
Air menggenangi sawah sejak beberapa hari terakhir akibat meluapnya saluran Irigasi Tarum Utara Barat serta jebolnya pintu air di wilayah Dusun Pasar. Kondisi ini membuat petani kesulitan mengendalikan debit air, sehingga padi yang seharusnya dipanen terendam dalam waktu cukup lama.
Akibat genangan tersebut, rendemen gabah petani tercatat turun hingga di bawah 60 persen. Kualitas gabah pun menurun dan berpengaruh terhadap nilai jual. Meski harga gabah di tingkat petani masih berada di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), kerugian tetap dirasakan karena meningkatnya biaya tambahan.
Salah seorang petani setempat, Sa’i, mengatakan harga gabah saat panen berada di kisaran Rp6.500 hingga Rp6.800 per kilogram. Namun, keuntungan tersebut tergerus oleh tingginya biaya pengangkutan hasil panen.
“Biaya angkut jadi mahal karena sawah tergenang dan akses jalan rusak. Ongkos angkut bisa Rp10.000 sampai Rp20.000 per karung, tergantung jarak,” ujar Sa’i, Selasa (16/12).
Ketua Kelompok Tani Tani Mukti, Udin, menjelaskan bahwa pintu air sebenarnya telah ditutup sebelum panen dilakukan. Namun, derasnya aliran irigasi membuat turap pintu air tidak mampu menahan tekanan air hingga akhirnya jebol.
“Pintu air sudah ditutup, tapi debit air terlalu tinggi. Air irigasi meluap dan menghancurkan turap,” katanya.
Kondisi tersebut mendorong para petani untuk menggelar musyawarah. Dari hasil kesepakatan bersama, petani sepakat melakukan perbaikan secara gotong royong tanpa menunggu bantuan pihak lain. Para pemilik lahan kemudian melakukan patungan dan berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp1,5 juta.
Perbaikan pintu air dilakukan dengan metode pengecoran beton pada bagian turap yang jebol. Pengecoran dilakukan di sisi dalam turap dengan kedalaman sekitar 60 sentimeter, lebar antara 20 hingga 100 sentimeter, dan panjang mencapai lima meter.
Untuk menekan biaya, petani memanfaatkan material bekas berupa puing bangunan yang masih layak pakai. Seluruh pekerjaan dilakukan secara manual oleh para petani sejak pagi hingga sore hari dan berhasil diselesaikan dalam satu hari.
“Material bekas ini lebih murah tapi cukup kuat. Yang penting aliran air bisa dikendalikan,” jelas Udin.
Ia menambahkan, pintu air tersebut sebenarnya sudah lama tidak berfungsi optimal. Pada 2022 lalu, kelompok tani sempat membuat pintu air darurat dari papan kayu. Namun, kondisi darurat akibat genangan air kembali memaksa petani melakukan perbaikan secara mandiri.
“Petani sangat butuh mengontrol air. Kalau menunggu terlalu lama, sawah bisa rusak. Mau tidak mau, kami perbaiki sendiri,” pungkasnya.



