HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI, KH Zainut Tauhid Sa’adi menilai bahwa seruan taubat nasuha yang digaungkan oleh Muhaimin Iskandar adalah langkah yang baik dari sisi spiritualitas.
Hal ini menyusul adanya bencana alam yang terjadi di beberapa daerah, khususnya di Sumatera ; Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat.
“KH Z (pertobatan sejati) yang disampaikan oleh Muhaimin Iskandar,” kata Zainut Tauhid dalam siaran tertulisnya yang diterima Holopis.com, Sabtu (6/12/2025).
Ia menyatakan, bahwa MUI memandang bahwa seruan ini bukan sekadar panggilan moral, melainkan refleksi atas kondisi darurat bangsa yang menunjukkan adanya kaitan nyata antara musibah di bumi dengan perbuatan manusia.
Bahkan ia mengutip Alquran Surat Ar Rum ayat 41, yang memiliki arti ; “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Sebab menurutnya, bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor yang membuat banyak rumah warga hancur, harta benda lenyap hingga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit tersebut, terjadi karena adanya andil tangan-tangan manusia.
“Besarnya korban jiwa dan kerugian infrastruktur yang terus berulang akibat bencana alam dahsyat di berbagai wilayah adalah indikasi nyata dan tragis dari kelalaian sistemik, kealpaan preventif, dan kegagalan pejabat publik dalam menjalankan amanah konstitusional,” ujarnya.
Tokoh Nahdlatul Ulama kelahiran Kabupaten Jepara ini pun memandang bahwa bencana alam memang tak terhindarkan, namun skalanya yang masif dan besarnya jumlah korban yang diderita merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar.
“Ada kelalaian manajerial dan struktural. Kelalaian ini terutama terletak pada pengabaian mitigasi, penegakan hukum tata ruang, dan perlindungan kawasan resapan air,” sambung Kiai Zainut Tauhid.
Lebih lanjut, MUI secara spesifik menyoroti dan mendesak introspeksi total pada kementerian yang memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan lingkungan, kehutanan, dan investasi, yaitu Kementerian Kehutanan, Investasi/BKPM dan Kementerian Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup.
“MUI menilai, wajar jika kementerian ini menjadi sorotan utama,” tegasnya.
Alasan yang mendasari adalah adanya faktor kausalitas utama. Di mana Kewenangan mereka—mulai dari penerbitan izin investasi yang berpotensi merusak hutan, kegagalan pengelolaan hutan, hingga lemahnya pengawasan kawasan lindung—adalah faktor kausalitas utama yang mengubah potensi bencana alam menjadi tragedi massal.
Di samping itu, sikap defensif yang tidak tepat juga menjadi aspek yang tidak kalah penting. Ia menyayangkan mengapa kementerian-kementerian yang berkaitan langsung dengan eksplorasi dan eksploitasi alam tersebut seolah mencoba untuk memborder diri dari tanggung jawab ekologis.
“Sungguh tidak produktif jika para pejabat di kementerian ini malah bersikap defensif atau menolak menyadari tanggung jawabnya. Seruan Taubatan Nasuha harus dijadikan cambuk moral untuk introspeksi mendalam, bukan untuk direspons dengan kemarahan,” tandas Kiai Zainut Tauhid.
Desakan Aksi Nyata (Pertobatan Struktural)
Di sisi lain, KH Zainut Tauhid menyampaikan, bahwa pihaknya mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia, khususnya kementerian-kementerian terkait, untuk segera melakukan pertobatan manajerial dan struktural melalui langkah-langkah konkret. Mulai dari introspeksi dan penegakan hukum lingkungan yang tegas.
“Mengevaluasi dan mencabut izin-izin investasi yang berpotensi memicu bencana ekologis, seperti banjir bandang dan tanah longsor, di kawasan lindung dan resapan air,” tuturnya.
“Kemudian memastikan penegakan hukum lingkungan yang adil, tegas, dan tanpa pandang bulu terhadap korporasi atau oknum perusak lingkungan,” sambuang Kiai Zainut Tauhid.
Reformasi Fundamental Penanggulangan Bencana
Selain itu, reformasi penanggulangan tentang kebencanaan juga harus dilakukan dari sentral. Mulai dari mitigasi hingga pengalokasian anggaran untuk penanggulangan saat kejadian dan pasca bencana.
“Mengalokasikan anggaran yang serius, transparan, dan memadai untuk penguatan early warning system (sistem peringatan dini) dan infrastruktur perlindungan bencana,” tandasnya.
Koordinasi lintas kementerian dan lembaga yang lebih fleksibel dan responsif pun harus benar-benar dioptimalkan. Jangan sampai terjadi ego sektoral yang justru berdampak buruk bagi proses penanggulangan bencana yang harus dilakukan.
“Menghilangkan hambatan birokrasi dan ego sektoral antar-lembaga agar penanganan tanggap darurat dapat dilakukan secara cepat, efisien, dan terkoordinasi. Serta memangkas prosedur penyaluran bantuan kepada korban bencana untuk memastikan bantuan tiba tepat waktu, tanpa ada ruang untuk penyelewengan dan tumpang tindih,” ucapnya.
Terkahir, semua pihak harus mau merfleksikan diri untuk melakukan perbaikan dan evaluasi. Jangan sampai ada kesan bahwa pemerintah mencoba untuk cuci tangan dan saling lempar tanggung jawab. Seolah tata kelola negara seperti tidak terharmonisasi.
Sekaligus, MUI menyerukan agar rasa penyesalan kolektif ini segera diubah menjadi komitmen baru yang teguh dalam menjalankan amanah dengan integritas, profesionalitas, dan mengutamakan keselamatan rakyat, demi masa depan bangsa yang lebih tangguh dan berketahanan terhadap bencana.
“Sebaiknya para pejabat tidak saling lempar tanggung jawab. Mari kita jadikan musibah ini sebagai momentum emas untuk melakukan pertobatan manajerial dan struktural secara kolektif,” pungkasnya.



