HOLOPIS.COM, JAKARTA – Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai proses seleksi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS periode 2026–2031 sarat subjektivitas sejak tahap paling awal proses rekrutmen.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers virtual yang digelar Tim Advokasi Jaminan Sosial Indonesia (TAJI), Jumat 21 November 2025. Ia menjelaskan, bahwa indikasi masalah muncul sejak penunjukan panitia seleksi (pansel) yang dinilai terlambat dari batas waktu yang ditetapkan.
Ia juga mengkritik masa pendaftaran yang hanya tiga hari, yang menurutnya merupakan bentuk itikad tidak baik karena menyulitkan banyak calon untuk melengkapi dokumen penting seperti SKCK dan pemeriksaan kesehatan.
Menurutnya, proses seleksi administrasi berlangsung tanpa transparansi dan sarat subjektivitas. Banyak kandidat dengan kompetensi tinggi digugurkan tanpa penjelasan, sementara sejumlah peserta yang lolos justru tidak memiliki rekam jejak memadai di bidang jaminan sosial, bahkan ada yang masih aktif sebagai pengurus partai politik.
“Pansel tidak boleh memotong hak peserta yang memenuhi syarat administrasi untuk ikut berkompetisi di tahap berikutnya. Jangan memaksakan hanya delapan orang yang lolos. Semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama,” kata Timboel.
Ia menambahkan, sejumlah organisasi pengawas independen JKN telah melayangkan somasi kepada Kementerian Ketenagakerjaan, DJSN, dan pansel terkait dugaan ketidakterbukaan dan potensi benturan kepentingan dalam seleksi administrasi.
Namun, hingga kini tidak ada penjelasan dari pihak terkait mengenai alasan banyak peserta digagalkan serta dasar pemilihan delapan kandidat yang dinyatakan lolos.
Timboel juga menyinggung adanya dugaan subjektivitas dalam menggugurkan beberapa kandidat yang sebenarnya dinilai kompeten berdasarkan rekam jejak mereka di bidang jaminan sosial.
“Kami menduga kuat ada subjektivitas yang membuat mereka tidak masuk. Kita tahu siapa panselnya dan bagaimana anggotanya,” ucapnya.
Ia kemudian menyoroti pelaksanaan uji kompetensi pada 18–19 November yang dinilai tidak sistematis. Tes yang seharusnya dilakukan secara terstruktur justru dikerjakan secara manual dengan esai dan pilihan ganda.
Kondisi ini, kata Timboel, meningkatkan potensi kesalahan penilaian yang dapat merugikan para peserta.



