HOLOPIS.COM, JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) menegaskan tentang pentingnya penguatan kedaulatan pangan, dengan menyatakan bahwa persoalan pangan tidak dapat dipisahkan dari regulasi lain yang saling berkaitan, khususnya UU Cipta Kerja yang dinilai melemahkan posisi petani dan memberi ruang kebebasan impor.
Oleh karena itu, SPI menegaskan bahwa revisi UU Pangan harus dibarengi dengan pembenahan kerangka hukum yang benar-benar berpihak pada produksi dalam negeri.
“Saat ini SPI yang tergabung dalam KEPAL (Komite Pembela Hak Konstitusional) sedang melakukan judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Berangkat dari hal ini kami berharap penyusunan RUU Pangan tidak bertentangan dengan putusan-putusan tersebut,” kata Wakil Ketua Umum SPI sekaligus Wakil Presiden Partai Buruh Bidang Pertanian, Agus Ruli Ardiansyah dalam keterangan persnya yang diterima Holopis.com, Jumat (21/11/2025).
Diketahui, bahwa SPI bersama dengan Komite Pembela Hak Konstitusional saat ini pun tengah melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Ruli menegaskan bahwa hal yang paling krusial dalam judicial review UU Cipta Kerja di cluster pangan itu adalah terkait impor pangan.
Pada UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 disebutkan bahwa impor pangan bisa dilakukan apabila kedua sumber utama (hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional) tidak mencukupi dan harus diputuskan oleh lembaga terkait. Namun, dalam UU Cipta Kerja, justru impor pangan itu disejajarakan dengan kedua sumber utama tersebut.
“Menyetarakan impor pangan dengan produksi dalam negeri bukan hanya masalah hukum administratif, tetapi juga masalah hidup dan matinya produksi pangan nasional. Harga pangan impor, terutama beras, kedelai, dan jagung, cenderung lebih murah karena negara asal memberikan subsidi besar kepada petani dan eksportirnya,” ujarnya.
Tidak sampai di situ, Ruli juga mengemukakan bahwa revisi UU Pangan ini harus komprehensif karena persoalan pangan ini berkaitan dengan tanah, termasuk di dalamnya alih fungsi lahan, perampasan lahan, konflik agraria, petani gurem yang terus meningkat, generasi muda tidak berminat menjadi petani, juga terkait kelembagaan petani, persoalan infrastruktur seperti jalan usaha tani, irigasi, persoalan budidaya produksinya yang harus berorientasi pada agroekologi, termasuk juga pada pasca panennya, mulai dari harga hingga distribusinya yang pada RDPU lalu itu kita usulkan untuk melibatkan koperasi petani.
“Jadi memang harus komprehensif supaya benar-benar bisa mewujudkan kedaulatan pangan. Harapan kita memang ini berkaitan dengan hal – hal lain yang sebenarnya sudah ada Undang Undangnya, misalnya UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Sistem Budidaya Tanaman, UU Hortikultura, hingga UU Peternakan. Inilah yang harus dilihat secara keseluruhan,” tuturnya.
Hal penting lain telah disampaikan SPI kepada Komisi IV DPR RI pada hari Senin, 17 November 2025 lalu, bahwa banyak putusan Mahkamah Konstitusi justru diubah atau digeser oleh UU Cipta Kerja. Dalam konteks pangan, perubahan tersebut mencakup aspek tanah, benih, irigasi, hingga kelembagaan petani.
“UU Cipta Kerja ini bukan hanya melemahkan kedaulatan pangan, tetapi juga melanggar putusan MK yang bersifat final dan mengikat, serta mengubah berbagai keputusan yang seharusnya menjadi landasan untuk mendorong terwujudnya kedaulatan pangan. Selain itu, banyak putusan MK yang sampai sekarang belum dijalankan pemerintah. Oleh karena itu penyusunan RUU Pangan harus dilakukan secara komprehensif agar tidak berpotensi diuji materi kembali oleh masyarakat,” pungkasnya.



