Dalam rilis mereka, KSPI menegaskan bahwa kasus ini menjadi bukti perlunya reformulasi aturan PHK dalam rancangan UU Ketenagakerjaan yang baru. PHK tidak boleh menjadi alat intimidasi atau jalan cepat ketika perusahaan menghadapi dinamika hubungan industrial.
PHK harus menjadi jalan terakhir (last resort) setelah seluruh upaya perbaikan hubungan kerja, dialog sosial, negosiasi, dan mediasi ditempuh secara sungguh-sungguh. Aturan hukum harus memastikan perlindungan ekstra bagi pengurus serikat, sehingga tidak ada lagi ruang untuk memanipulasi alasan disharmonis, performa, atau pelanggaran etik yang direkayasa.
“Jika tidak diperketat, maka kasus seperti Yamaha akan terus terulang dan menjadi ancaman serius bagi pekerja di Indonesia,” ucap narahubung, Kahar S. Cahyono.



