Usai Polisi Aktif, GPK Juga Desak Negara Perlakukan Sama ke TNI dan Instansi Lain
HOLOPIS.COM, JAKARTA - Komite Nasional Gerakan Pemerhati Kepolisian Republik Indonesia (GPK RI) memberikan penilaiannya atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang berdampak pada perintah larangan anggota Polisi aktif menjabat di lembaga non Kepolisian sekalipun atas perintah Kapolri, kecuali telah pensiun atau mengundurkan diri dari keanggotaannya di Polri.
Menurutnya, putusan tersebut cukup aneh ketika memang negara menginginkan untuk menyingkirkan Kepolisian dari posisi penting di lembaga-lembaga yang berkaitan dengan kesipilan dan tugas-tugas Kepolisian.
"Keputusan yang semestinya murni berdiri atas dasar hukum kini justru sarat kepentingan. Ini membuat konsolidasi pemerintahan tidak berjalan clear," kata Ketua Komite Nasional GPK RI, Abdullah Kelrey kepada Holopis.com, Minggu (16/11/2025).
Alasan kuat mengapa putusan MK tersebut terjebak dalam kepentingan politik, karena perlakuan yang sama tidak dilakukan kepada lembaga lainnya, seperti TNI. Karena tidak sedikit perwira aktif militer menduduki jabatan sipil saat ini.
"Kalau hukum saja dipolitisasi, siapa pun presidennya negara ini akan stagnan. Tidak maju, hanya jalan di tempat," ucapnya.
Jika pun memang tujuan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menganulir anggota Polri menduduki posisi penting di luar lembaga Kepolisian, maka Mahkamah Konstitusi pun harus tuntas berpikir dan bersikap, yakni tidak boleh ada prajurit TNI aktif menduduki jabatan di lembaga non kemiliteran.
Hal ini menurut Kelrey, adalah dalam rangka untuk memastikan negara tidak memiliki standar ganda dalam mengambil sebuah kebijakan yang bisa berdampak dan instabilitas nasional yang tidak perlu.
"Jangan sampai MK tajam ke Polri tetapi tumpul ke TNI. Kalau memang ada pembatasan jabatan sipil bagi aparat, maka TNI pun harus dikenakan aturan yang sama," tegas Kelrey.
Sekadar diketahui Sobat Holopis, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Syamsul Jahidin, S.I.KOM., S.H., M.I.KOM., M.H.MIL berstatus Mahasiswa dan Advokat, serta Christian Adrianus Sihite, S.H yang berprofesi sebagai Mahasiswa.
Di mana dalam putusan perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demikian Amar Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang dilaksanakan pada Kamis (13/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyebutkan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud. Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berada di luar institusi kepolisian.
Oleh karenanya, Mahkamah menilai dalil hukum Pemohon yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 tersebut, telah menimbulkan kerancuan dan memperluas norma pasal a quo. Dengan demikian, ketentuan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Oleh karena itu, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Hakim Konstitusi Ridwan membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 ini diwarnai alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani. Selain itu, dua orang Hakim, yakni Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah juga menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).