Antara lain berada pada Pasal 2 UU Polri, di sana dijelaskan bahwa fungsi kepolisian sebagai fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas-tugas ini bersifat sipil dan yudikatif, berbeda dengan fungsi kombatan militer.
Kemudian di dalam pertimbangan atau konsiderannya, disebutkan bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya pembangunan nasional, dan fungsi serta peran kepolisian diatur untuk tujuan tersebut, bukan untuk operasi militer.
Selain itu, UU ini juga mengukuhkan bahwa Polri sebagai lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan di bawah Kementerian Pertahanan atau Panglima TNI, yang semakin memperjelas kedudukan sipilnya. Serta seluruh aturan main hukumnya mengatur bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum, bukan peradilan militer, kecuali dalam keadaan tertentu sebelum undang-undang ini berlaku sepenuhnya.
Secara ringkas, UU Nomor 2 Tahun 2002 mendefinisikan Polri sebagai kekuatan sipil fungsional yang tugas utamanya berkaitan dengan ketertiban sipil dan penegakan hukum, yang secara inheren membedakannya dari peran kombatan militer yang diatur dalam undang-undang terpisah (UU tentang TNI).
Maka dari itu ketika ada putusan MK yang berkekuatan hukum final dan mengikat (final and binding), maka aturan main yang sudah ada wajib diubah, khususnya di dalam birokrasi yang ada di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
“Semua aturan yang terkait itu harus dibongkar dulu, ada aturan bahwa polisi boleh masuk dengan catatan yang minta itu birokrasinya. Jadi Menteri PAN RB minta lalu Kapolri memutuskan siapa orangnya, lalu mengirim, Itu aturan dulu yang harus diubah,” tutur Prof Kikiek.



