HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (FABEM) Zainuddin Arsyad menyampaikan penolakan keras atas penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya yang dinilai telah merusak lingkungan dan ekosistem alam di sana.
Menurutnya, efek samping yang sangat buruk akan terjadi jika penambangan yang terjadi di kawasan tersebut terus dilakukan dan tak segera dihentikan.
“Penolakan ini didasarkan pada dampak lingkungan dan sosial yang signifikan dari penambangan nikel,” kata Zainuddin dalam keterangan persnya yang diterima Holopis.com, Minggu (8/6/2025).
BACA JUGA
- DPP FABEM Dukung Pelestarian Budaya dan Pemberdayaan Perempuan
- Bahlil Ngaku Tata Kelola Alam Saat Ini Dinikmati Investor dan Pemerintah Pusat
- Bahlil Heran Indonesia Mau Kelola Alam Kok Banyak yang Ribut
- FABEM Maluku Sentil KNPI soal Gubernur Hendrik Lewerissa
- Sambut HUT 79 Bhayangkara : FABEM Harap Polri Tak Lagi Represif Hingga Tingkatkan Pembenahan Internal
Ia menyatakan bahwa Raja Ampat adalah surga terakhir yang dimiliki Indonesia dengan berbagai keindahan alam, laut, dan segala macam habitat di dalamnya. Jika seandainya negara tidak segera menghentikan pengerukan di sana, maka potensi kerusakan bukan sekadar pada alam, akan tetapi pada generasi penerus.
“Raja Ampat adalah salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Penambangan nikel di daerah ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki dan berdampak pada generasi selanjutnya,” tegasnya.
Sejumlah efek samping yang terjadi akibat penambangan nikel yang masif di kawasan pulau di Raja Ampat tersebut antara lain ; perusakan air. Menurutnya, bahan-bahan kimia yang digunakan dalam prosesi tambang bisa merusak biota laut dan mencemari air di wilayah tersebut.
“Air asam dan sedimentasi dapat mencemari sumber air bersih, mengganggu ekosistem laut, dan mengurangi keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Selain itu soal pencemaran tanah. Zainuddin menyampaikan bahwa limbah tambang dapat juga mencemari tanah, hingga menyebabkan erosi dan longsor. Begitu juga dengan aktivitas penebangan pohon dan pengerukan tanah yang akan mengakibatkan perusakan ekosistem yang sudah ada di wilayah tersebut, baik kerusakan ekosistem hutan bahkan ekosistem laut.
“Penambangan dapat mengganggu habitat satwa liar, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, dan mengurangi jumlah populasi beberapa spesies,” tutur Zainuddin.
Lebih dalam lagi, ia juga menekankan bahwa aktivitas penambangan nikel pun dapat menyebabkan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim mikro. Terlebih masyarakat sekitar tambang nikel juga dapat kehilangan mata pencaharian dan mengalami gangguan kesehatan akibat pencemaran lingkungan.
“Raja Ampat merupakan salah satu surga keanekaragaman hayati laut di dunia, dengan kekayaan hayati yang luar biasa,” tukasnya.
Dalam catatan yang dihimpun, Zainuddin Arsyad menyebut bahwa setidaknya lebih dari 2.500 spesies ikan laut ada di perairan Raja Ampat. Jika perusakan alam semacam itu terus terjadi, maka setidaknya ribuan spesies laut itu pun terancam punah.
Tak hanya itu, di kawasan Raja Ampat juga tersimpan 75 persen spesies karang dunia, lalu berbagai jenis moluska, hingga mamalia laut seperti lumba-lumba, paus dan dugong yang bisa jadi habibat dan ekosistem mereka terancam terganggu akibat aktivitas penambangan di sana.
Oleh sebab itu, FABEM mengajak kepada seluruh elemen anak bangsa untuk bersatu padu membela alam dan menolak rencana penambangan nikel di Raja Ampat.
“Kami percaya bahwa lingkungan hidup adalah warisan berharga yang harus dijaga dan dilindungi untuk generasi selanjutnya,” tambah Zainuddin Arsyad.
