JAKARTA – Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO) menyambut positif kebijakan pemerintah terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Ketua Umum APREGINDO, Handaka Santosa menilai keputusan pemerintah dalam memberlakukan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah merupakan langkah yang bijaksana.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, kebijakan pemerintah terkait PPN tersebut tak hanya untuk menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri.
“Kami mengapresiasi kebijakan ini karena mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan masyarakat serta pelaku usaha,” kata Handaka dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Sabtu (4/1).
Pria yang juga Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) itu juga mengapresiasi tiga bulan masa transisi yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha.
Menurutnya, masa transisi tersebut berguna bagi dunia usaha, agar dapat menerapkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut secara maksimal.
Untuk itu, APINDO bersama asosiasi sektoral lainnya berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.
“Dialog yang erat antara pemerintah dan dunia usaha akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, memperkuat daya saing industri, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional,” pungkasnya.
Sebagai informasi Sobat Holopis, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan PMK Nomor 131 Tahun 2024, yang menyatakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang super mewah, yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas
Sebagai respons terhadap PMK 131/2024 tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan merilis Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 pada 3 Januari 2025.
Melalui aturan itu, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak dalam menerbitkan faktur pajak selama tiga bulan, yakni sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2025.
Dalam konteks itu, faktur pajak atas penyerahan selain barang mewah yang mencantumkan nilai PPN terutang sebesar 11 persen maupun 12 persen dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi.
Bila terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen, dari yang seharusnya sebesar 11 persen untuk barang tidak mewah namun telanjur dipungut sebesar 12 persen, pembeli dapat meminta pengembalian kepada penjual.
Pengusaha kena pajak (PKP) penjual kemudian melakukan penggantian faktur pajak untuk memproses permintaan pengembalian lebih bayar tersebut.