JAKARTA – Dua tersangka dugaan korupsi tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya dijebloskan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ke jeruji besi atau bui. Keduanya ditahan di Rumah Tahanan Negara Cabang Rutan dari Rutan Klas I Jakarta Timur.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, kedua tersangka ditahan untuk 20 hari pertama. Adapun kedua tersangka yang ditahan itu yakni Aprialely Nirmala dan mantan kepala proyek Waskita Karya. Aprialely diketahui merupakan Pejabat Pembuat Komitmen proyek Pembangunan Tempat Evakuasi Sementara (TES) atau Shelter Tsunami di Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara tahun 2014 sekaligus pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian PUPR.
“Kedua tersangka atas nama AN (Aprialely Nirmala) dan AH (Agus Herijanto) dilakukan penahanan selama 20 hari terhitung mulai tanggal 30 Desember 2024 sampai dengan tanggal 18 Januari 2025 dan penahanan dilakukan di Rumah Tahanan Negara Cabang Rutan dari Rutan Klas I Jakarta Timur,” ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, seperti dikutip Holopis.com, Senin (30/12).
Dalam pengusutan kasus ini, KPK telah melakukan penilaian fisik shelter tsunami yang dikorupsi dengan menggandeng tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Ada empat temuan, salah satunya adalah belum terpenuhinya tujuan perencanaan. Bangunan yang harusnya kuat diguncang gempa hingga 9 skala richter justru rusak usai terjadi gempa berkekuatan 6,4 skala richter dan 7 skala richter.
“Kondisi shelter rusak berat dan tidak bisa digunakan untuk berlindung,” ucap Asep.
Temuan lainnya yakni, shelter tsunami ini tidak sepenuhnya memenuhi nota desain yang menjadi rujukan dalam perencanaan. Kemudian, bangunan ini juga belum dimanfaatkan.
“Keempat gedung TES Lombok pada saat terjadi bencana mengalami kegagalan bangunan sehingga tidak dimanfaatkan pada kondisinya saat ini,” kata Asep.
KPK juga menduga terjadi penurunan spesifikasi dalam pembangunannya shelter tsunami ini. Diduga modus penurunan spesifikasi dilakukan oleh Aprialely. Untuk desain sengaja diubah dengan alasan tidak mampu melaksanakan pembangunan.
“Bahwa selain melakukan perubahan desain, ternyata saudari AN selaku PPK juga menurunkan spesifikasi tanpa kajian yang dapat dipertanggungjawabkan,” kata Asep.
Adapun rincian penurunan spesifikasi itu yakni :
1. Menghilangkan balok pengikat antar kolom pada elevasi 5 meter di mana dalam dokumen perencanaan terdapat balok pengikat ke seluruh kolom dalam bangunan pada elevasi 5 meter, namun ternyata diubah hanya mengikat di sekeliling bangunan saja;
2. Mengurangi jumlah tulangan dalam kolom, di mana pada perencanaan awal sebanyak 48 dikurangi menjadi 40;
3. Mengubah mutu beton dari dari perencanaan awal K-275 menjadi K-225.
“Selain itu dalam perubahan gambar DED tersebut, tidak digambarkan balok ramp atau jalur evakuasi yang menghubungkan antar lantai sesuai dengan gambar pradesain yang terdapat dalam Laporan Akhir Perencanaan. Kondisi tersebut menyebabkan perkuatan ramp terlalu kecil dan kondisi ramp hancur pada saat terjadi gempa,” ucap Asep.
KPK selain itu juga menemukan adanya penyimpangan anggaran senilai Rp 1.302.309.220 yang dilakukan mantan kepala proyek, Agus Herijanto. KPK menduga perbuatan rasuah kedua tersangka ini mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 18,4 miliar. Jumlah tersebut merupakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Akibat perbuatannya, KPK menjerat kedua tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Kegiatan Pelaksanaan Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2014 telah terjadi penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 18.486.700.654,” tandas Asep.