Lebih lanjut, Henry Saragih juga memaparkan bahwa ketidakstabilan harga pangan menyebabkan petani merugi. Yang mana pada tahun 2024 ini pemerintah menetapkan Harga Pembelian Gabah dan Beras (HPP) untuk GKP antara Rp. 5.000/kg sampai dengan Rp. 6.000/kg, namun harga ini tidak sebanding dengan kenaikan biaya usaha tani padi sawah konvensional yang berada pada angka Rp. 7.000/kg.
“Meskipun demikian, pemerintah justru menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) alih-alih menaikkan HPP,” ucapnya.
Menurut SPI salah satu penyebabnya fenomena-fenomena yang merugikan petani ini diakibatkan oleh pemerintah masih bergantung atau belum bisa menertibkan korporasi yang meraup keuntungan besar dalam alur distribusi nasional.
Di tingkat internasional, Henry menitikberatkan peningkatan angka kelaparan global. Sebab berdasarkan laporan FAO (Food and Agriculture Organization) atau organisasi pangan dunia, bahwa angka kelaparan global terus meningkat dari tahun 2017. Pada tahun 2023 terdapat 733,4 juta orang kelaparan di seluruh dunia dan tahun 2024 angka tersebut diproyeksikan meningkat.
“Hal ini dipicu oleh berbagai factor seperti faktor konflik yang terjadi di Timur Tengah dan eropa, Krisis Iklim dan masifnya perdagangan bebas,” jelas Henry.
Kemudian, Henry menjelaskan bahwa Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menandatangani banyak perjanjian perdagangan bebas. Beberapa di antaranya adalah, pemerintah saat ini telah menandatangani 34 berbagai ragam perjanjian bebas, termasuk di dalamnya perjanjian mengenai pangan. Ia menuding bahwa semua itu terjadi karena efek samping dari UU Cipta Kerja yang diketok di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Hal ini sebenarnya dampak dari lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dihapusnya ketentuan impor pangan yang cukup ketat dalam Undang-Undang Pangan, membuat Indonesia telah dan akan lebih mudah dibanjiri oleh pangan impor,” kata Henry.
Oleh sebab itu, Henry Saragih pun menyampaikan bahwa rezim global perubahan iklim dan perbenihan menjadi faktor yang menyebabkan kerugian petani dan merusak sistem pangan.
“Krisis iklim yang memicu krisis pangan diperparah dengan solusi seputar adaptasi iklim melalui pasar karbon, biodiversity offset, konservasi hutan dan pesisir dan Climate Smart Agriculture (CSA) atau pertanian pintar iklim melalui rekayasa genetika dan penerapan DSI (Digital Sequal Information) perbenihan,” pungkas Henry.