JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan peluncuran Catatan Akhir Tahun Serikat Petani Indonesia tahun 2024 dengan tema “Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Pemerintahan Jokowi Berbalik Arah”.
Dalam catatan tersebut SPI menyoroti pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan di Indonesia di dalam RPJMN 2020-2024. Sebelumnya di dalam ‘Nawacita’, yang diimplementasikan dalam RPJMN 2015-2019, kebijakan reforma agraria dan kedaulatan pangan masuk sebagai program prioritas.
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan pada tahun 2024 ini walaupun terjadi pergantian pemerintahan, tetapi dari Januari-Oktober 2024 kebijakan-kebijakan yang ada masih dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.
Upaya melanjutkan reforma agraria dan kedaulatan pangan pada dasarnya masih tetap dilakukan oleh pemerintah dalam RPJMN 2020-2024, akan tetapi SPI melihat komitmen politik pemerintah untuk menjalankan reforma agraria maupun kedaulatan pangan di Indonesia sangat lemah.
“Pemerintah justru mendorong lahirnya kebijakan yang berseberangan dengan reforma agraria maupun kedaulatan pangan seperti Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, meski sebelumnya telah diputus cacat formil dan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Henry dalam paparannya, Jumat (27/12).
“Lahirnya kebijakan seperti Bank Tanah, hingga Hak Pengelolaan, mempengaruhi minimnya penyelesaian kasus konflik agraria dan redistribusi tanah untuk petani. Begitu juga dengan kebijakan impor pangan yang dipermudah melalui perubahan Undang-Undang Pangan,” imbuhnya.
RPJMN 2015-2019 berisi mandat pelaksanaan reforma agraria, kedaulatan pangan, pembangunan pertanian, dan pedesaan. Tapi sejak keluar UU Cipta Kerja, situasi berbalik arah. Reforma agraria, kedaulatan pangan, dan pembangunan pertanian dan pedesaan tidak dilaksanakan karena semuanya telah diliberalisasi dan didorong ke privatisasi. Sehingga RPJMN 2020-2024 terjadi perubahan dari isi dan program-program yang tidak sekuat ditahun 2014.
Akibatnya, konflik agraria meningkat karena pemerintah mendorong kembali korporasi untuk mengurusi bidang pertanian dengan dalih UU Cipta Kerja. Mereka mengeluarkan Proyek Strategis Nasional (PSN). Seperti real estate di PIK 2 dan mempermudah pembangunan pertanian skala besar melalui food estate di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
Henry juga mengatakan bahwa lemahnya komitmen politik tersebut juga dapat dilihat dari target reforma agraria pemerintah seluas 9 juta hektar, yakni 4,5 juta hektar redistribusi tanah dan 4,5 juta hektar dalam bentuk legalisasi, yang mengalami kegagalan. Hal ini, sebut Henry, telah memicu konflik agraria yang semakin luas.
“Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN RI, per Juni 2024 untuk legalisasi aset telah mencapai 10,7 juta hektar, sedangkan realisasi redistribusi tanah yang merupakan tujuan utama dari reforma agraria hanya mencapai 1,8 juta hektar. Akibatnya konflik agraria masih masif terjadi, terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria selama tujuh tahun terakhir (2016-2023),” tuturnya.
Dari angka tersebut, Henry pun menyampaikan bahwa sebanyak 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sampai dengan Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA baru sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK).
“Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak,” tuturnya.
Terkhusus LPRA yang diusulkan SPI, dari 200 konflik agraria baru 2,5 persen yang dilakukan redistribusi dalam sepuluh tahun terakhir. Sehingga konflik masih terjadi di tanah seluas lebih 600.000 ha yang menjadi kehidupan sekitar 120.000 petani.
Henry menambahkan bahwa dari berbagai konflik agraria yang terjadi di tahun 2024, salah satu kasus yang mencuat adalah terjadinya perampasan tanah yang dilakukan oleh PT. Permata Hijau Pasaman 1 (PHP 1) yang merupakan anak perusahaan dari Wilmar Grup di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Serikat Petani Indonesia (SPI) di Nagari Kapa, Sumatera Barat.
“Petani digusur, tanamannya dirusak dan tidak sedikit yang ditangkap. Mereka (PHP 1) melakukan penggusuran dan penanaman secara paksa dengan pengawalan aparat kepolisian di tanah dengan luas sekitar 600 hektare yang sudah ditanami padi sawah, jagung, pisang, dan tanaman pangan lainnya oleh petani. Sebanyak 40 unit bangunan/rumah petani dirusak dan dirobohkan. Kemudian 20 titik akses jembatan menuju ladang dirusak dan ditutup. Kerugian petani ditaksir lebih dari Rp2 miliar,” tandasnya.
Terkait kedaulatan pangan, SPI menyoroti beberapa fenomena yang sangat merugikan petani di tahun 2024 seperti impor pangan yang dipermudah, ketidakstabilan harga pangan dan makin masifnya privatisasi, liberalisasi dan korporatisasi pangan.
Henry mengatakan bahwa Impor pangan sebagai solusi palsu terus dikerjakan pemerintah. Terkhusus untuk pangan strategis seperti beras, kedelai, jagung, gula, daging sapi, bawang putih, dan garam.
“Kedelai pada rentang 2015-2024 Indonesia mengimpor antara 2-2,6 juta ton, jagung 1,9 juta ton pada tahun 2024, gula mencapai 5,4 juta ton, daging sapi 145 ribu ton, bawang putih 300-500 ribu ton per tahun, garam 2,4 juta ton dan beras realisasi impornya Januari-Mei 2024 sebanyak 2,755 juta ton, dan rencana Juni-Desember 2024 ada 1,596 juta ton dan masih dibuka peluang impor lanjutan sampai akhir tahun yang diperkirakan mencapai 5 juta ton,” jelas Henry.