JAKARTA – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) memberikan komentar tentang konten-konten dakwah yang dilakukan oleh sejumlah gus dan habib muda di Indonesia. Di mana sejumlah dari mereka menggunakan diksi yang tidak elok untuk dikonsumsi oleh jamaah.
Menurutnya, kunci penting seseorang tampil menjadi pendakwah adalah kepatutan ilmu. Bagaimana para dai memahami ilmu agama dan ilmu sosial yang baik dalam melaksanakan kegiatannya.
“Syarat menjadi pendakwah adalah berilmu dan berakhlak. Tanpa dua itu, tak elok seseorang menjadi pendakwah. Ini fatal jika terjadi karena berdampak pada jamaah,” kata Habib Syakur kepada Holopis.com, Rabu (11/12).
Sertifikasi Dai
Oleh sebab itu, ulama asal Malang Raya ini pun menilai bahwa sertifikasi Da’i perlu dilakukan agar jangan sampai ada kalangan dai muda yang mencoba mencari panggung ceramah untuk menarik jamaah tertentu.
“Saya kira bagus, itu tugas negara untuk memastikan kiai dan ulama yang berdakwah tidak sembarangan. Dia harus kompeten dalam berilmu agama, kompeten dalam bersikap, dan kompeten dalam berakhlak,” ujarnya.
“Jangan sampai ada pendakwah anyaran (baru) yang tanpa ilmu agama yang memadai, akhlak yang baik lalu pegang mic, bisa bahaya apalagi didengar jamaah yang awam,” sambungnya.
Menurutnya, langkah untuk melaksanakan sertifikasi dai tersebut tidak dalam konteks membatasi dakwah agama, termasuk dakwah Islam. Akan tetapi negara hadir untuk memastikan bahwa umat beragama memiliki pedoman yang baik dari orang-orang yang tepat.
“Negara harus tegas, jangan biarkan kebodohan ini berlanjut. Saya khawatir wajah Islam akan rusak karena dibiarkannya pendakwah nir akhlak bertebaran di panggung-panggung masyarakat,” tukasnya.
Jangan Politisasi Agama
Ada yang tak kalah penting diperhatikan oleh banyak kalangan, yakni penggunaan majelis-majelis shalawat, majelis dzikir dan majelis agama untuk kepentingan politik praktis.
Berkaca pada Pilkada 2024 lalu pun, banyak kegiatan kampanye politik disusupkan ke dalam majelis agama. Menurutnya, praktik tersebut bisa mendiskreditkan kegiatan yang berbau agama tersebut.
“Banyak politisi yang sedang maju Pemilu menggelar kegiatan dakwah dan shalawat. Tujuan utamanya bisa jadi bukan berkhalwat, tapi untuk kampanye. Ini juga tak kalah salah kaprah ya,” tandasnya.
Situasi ini juga menurut Habib Syakur akan mendistorsi kesaralan sebuah kegiatan shalawatan dan majelis dzikir. Bagaimana sebuah kegiatan tersebut seharusnya bisa semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencintai Islam, malah hanya jadi bahan komoditas politik semata.
“Menikmati politisasi identitas dibalut dengan majelis sholawat ini juga memalukan menurut saya. Apalagi jika tidak dibarengi dengan edukasi politik yang baik, hanya sekadar seruan untuk memilih si Fulan atau siapa pun,” tukas Habib Syakur.
Oleh sebab itu, ia berharap harapannya ini dapat didengar oleh para pemangku kekuasaan. Sebab situasi ini harus segera disikapi dengan serius, sebelum Islam dianggapnya akan semakin jauh dari esensinya di mata umat dan masyarakat.
“Ketika politik sudah menyusup ke majelis agama, ketika umpatan dan kata-kata tidak sopan menjadi bahan lawakan semata, lalu masyarakat akan melihat majelis shalawat sudah tidak sakral lagi untuk dijaga marwahnya, maka Islam akan semakin dekat dengan keasingannya,” pungkasnya.