JAKARTA – Bukti transfer yang diduga berkaitan dengan kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan anggaran di lingkungan Pemkot Pekanbaru pada 2024-2025 jadi cikal bakal penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa dan Sekda Pekanbaru Indra Pomi Nasution, serta tujuh orang lainnya ditangkap tim satgas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Musababnya lantaran Kepala Bagian Umum Pemkot Pekanbaru Novin Karmila (NK) akan menghancurkan bukti transfer senilai Rp 300 juta tersebut.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Diketahui transfer tersebut dilakukan oleh Rafli Subma (RS) yang merupakan Staff Bagian Umum, atas perintah dari Novin Karmila.
“Setelah melakukan serangkaian penyelidikan, KPK mendapatkan sejumlah indikasi adanya tindak pidana korupsi, di antaranya bahwa pada hari Senin 2 Desember 2024, sekitar pukul 16:00 WIB, KPK mendapatkan informasi NV (Novin Karmila)selaku Plt. Kepala Bagian Umum Pemerintah Kota Pekanbaru akan menghancurkan tanda bukti transfer sejumlah Rp 300.000.000 kepada anaknya yaitu NRP (Nadya Robin Puteri),” ungkap Nurul Ghufron dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (4/12).
Atas informasi yang diterima, tim Satgas KPK lalu bergerak dan menangkap sembilan orang di wilayah pekanbaru dan Jakarta. Dari penangkapan itu, tim KPK juga menyita Rp 6,82 miliar.
“Dari rangkaian kegiatan tersebut, Tim KPK mengamankan total 9 orang, yakni 8 orang di
wilayah pekanbaru dan 1 orang di wilayah Jakarta, serta sejumlah uang dengan total sekitar Rp 6.820.000.000,” kata Ghufron.
Temuan uang itu didapat dari sejumlah lokasi. Adapun uang miliaran itu ditemukan dengan rincian, Rp 1 miliar didapat tim KPK dari tas ransel saat Novin ditangkap di wilayah Pekanbaru. Tim KPK juga menemukan Rp 1,39 miliar dari Risnandar bersama dengan ajudannya saat penangkapan di Rumah Dinas Wali Kota. Sebelumnya uang itu diberikan oleh Novin.
“Pada sekitar pukul 20:30, RM (Risnandar Mahiwa) meminta istrinya AOA (AEMI Octawulandari Amir) untuk menyerahkan uang tunai sejumlah Rp 2.000.000.000 dalam tas kepada Tim KPK yang mendatangi rumah pribadinya di Jakarta,” ujar Ghufron.
Tim KPK selanjutnya menangkap Indra Pomi Nasution di rumah pribadinya di Kota Pekanbaru. Dari lokasi itu, tim KPK menemukan Rp 830 juta. Uang itu diduga diterima Indra Pomi dari Novin.
“Berdasarkan pengakuan IPN secara keseluruhan uang yang diterimanya dari NK sejumlah Rp 1 miliar namun sebesar Rp 150 juta sudah diberikan IPN dan YL (Yuliarso) Kadishub Kota Pekanbaru dan Rp 20 juta ke wartawan,” terang Ghufron.
Tim KPK juga mengamankan Nadya Rovin Puteri yang merupakan anak Novin Karmila di Kost Casa Tebet Mas Indah. Pada rekening Nadya Rovin PPuter terdapat saldo sebesar Rp 375.467.141 di rekening miliknya.
“Sejumlah Rp 300.000.000 pada rekening tersebut berasal dari setoran tunai yang dilakukan oleh RS (Rafli Subma) atas perintah NK (Novin Karmila) pada tanggal 2 Desember 2024,” ucap Ghufron.
Selain itu, tim KPK juga mendapatkan uang Rp 1 miliar dari kakak Novin, Fachrul Chacha. Tim KPK juga mengamankan Rp 100 juta dari Nugroho Adi (NA) di umah Dinas Pj Wali Kota. “Uang tersebut berasal dari pencairan TU yang diberikan oleh NK pada 29 November 2024,” tutur Ghufron.
Terakhir, tim menuju rumah Nugroho Adi atau U (Untung) di Ragunan. Dari lokasi itu tim mengamankan Rp 200 juta.
“(Uang Rp 200.000.000) merupakan uang dari NK,” tandas Ghufron.
Dari sembilan orang yang diamankan, KPK menetapkan tiga sebagai tersangka. Tiga orang itu yakn penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa, Sekda Pekanbaru Indra Pomi Nasution, dan Plt Kabag Umum pada Setda Pekanbaru Novin Karmila.
Dalam konstruksi kasus, Risnandar, Indra Pomi, dan Novin diduga memotong anggaran ganti rugi di Bagian Umum Setda Pekanbaru sejak Juli 2024. Pemotongan ini dilakukan untuk kepentingan pribadi para tersangka.
Selain itu terdapat penambahan anggaran Setda pada November 2024. Penambahan anggaran itu diantaranya untuk anggaran Makan Minum (APBDP 2024). Risnandar Mahiwa diduga mendapat Rp 2,5 miliar dari penambahan anggaran tersebut.
Atas dugaan perbuatannya, para tersangka disangkakan dengan Pasal 12 f dan Pasal 12 B pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.