Holopis.com JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyatakan, bahwa semua jenis buku, baik itu buku dalam bentuk cetak maupun digital terbebas dari pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5/PMK.010/2020. Namun, bebas pungutan PPN itu tidak berlaku pada buku-buku yang melanggar hukum.

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 ayat 2 PMK tersebut, cakupan buku yang melanggar hukum adalah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kemudian membuat unsur SARA, pornografi, dan unsur lainnya.

“Tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila; Tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, dan/ atau antar golongan; Tidak mengandung unsur pornografi; Tidak mengandung unsur kekerasan; dan atau Tidak mengandung ujaran kebencian,” demikian bunyi beleid tersebut, yang dikutip Holopis.com, Selasa (26/11).

Lebih lanjut, dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan tentang persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2 tidak dipenuhi, maka penerbit atau importir Buku umum diwajibkan membayar PPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Persyaratan yang tidak dipenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada putusan pengadilan,” bunyi pasal 4 ayat 2.

Kemudian, sebagaimana dikutip dari Pasal 6, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.011/2013 tentang Buku-Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci, dan Buku-Buku Pelajaran Agama yang atas Impor atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

“Atas impor dan/atau penyerahan buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai,” tulis Pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.011/2013.

Sebagaimana dilansir dari Pasal 1 ayat 2, Buku-buku pelajaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan.

Berdasarkan pasal 1 ayat 3, kitab suci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Kitab suci agama Islam meliputi kitab suci Alquran, termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan Jus Amma, Kitab suci agama Kristen Protestan meliputi kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian, Kitab suci agama Katolik meliputi kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Selain itu, adapun Kitab suci agama Hindu meliputi kitab suci Weda, Smerti, dan Sruti, Upanisad, Itihasa, Purnama, termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian, Kitab suci agama Budha meliputi kitab suci Tripitaka termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan Kitab lainnya yang telah ditetapkan sebagai kitab suci oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh menteri dimaksud.

“Buku-buku pelajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan di bidang agama,” bunyi pasal 1 ayat 4.

Namun, berdasarkan Pasal 2, buku-buku pelajaran umum yang tidak termasuk dalam Pasal 1 ayat 2 antara lain, buku hiburan, buku musik, buku roman populer, buku sulap, buku iklan, buku promosi suatu usaha, buku katalog di luar keperluan pendidikan buku karikatur, buku horoskop, buku horor, buku komik, buku reproduksi lukisan.