Laporan dari McKinsey and Co dan Ocean Conservancy (2019) mengemukakan bahwa Indonesia adalah negara kedua setelah China sebagai penghasil sampah plastik terbanyak. Laporan tersebut mengemukakan bahwa Indonesia memproduksi sekitar 175.000 ton sampah plastik setiap hari-nya pada tahun 2019, yang menghasilkan total 64.000.000 ton sampah plastik.
Sebanyak 85.000 ton kantong plastik dibuang ke lingkungan setiap tahunnya seperti yang tertera pada data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan plastik meningkat 11% pada tahun 2015, dan diperkirakan akan meningkat 16% dalam sepuluh tahun mendatang.
Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan kebijakan cukai plastik untuk mengurangi volume limbah yang semakin meningkat.
Menurut Sustainable Waste Indonesia (SWI), di tahun 2017, hanya 7% dari jumlah total sampah tersebut yang berhasil didaur ulang. Sementara, sebagian besarnya yaitu sebanyak 69% sampah plastik menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), dan 24% lainnya dibuang sembarangan mengakibatkan pencemaran lingkungan dan masuk dalam kategori illegal dumping. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah plastik sangat penting untuk segera diberikan perhatian khusus di Indonesia.
Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan kebijakan cukai plastik untuk mengurangi volume limbah yang semakin meningkat. Perpres Nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut menargetkan pengurangan sampah plastik hingga 70% pada tahun 2024 dengan menerapkan cukai (BKF, 2021). Namun, rencana ini belum memiliki dasar hukum yang jelas dan masih dalam tahap diskusi hingga saat ini.
Kementerian Keuangan mengatakan bahwa ada rencana untuk membagi cukai plastik menjadi dua jenis. Jenis pertama, kantong plastik yang terbuat dari bijih plastik, seperti polyethylene dan polypropylene, akan dikenakan cukai sebesar 100%. Jenis plastik ini akan terurai selama lebih dari seratus tahun, sehingga dianggap sebagai ancaman besar bagi lingkungan.
Jenis lain, yaitu kantong plastik berbahan oxodegradable, yang terurai lebih cepat dalam 2-3 tahun, akandikenakan cukai lebih rendah. Harga kantong plastik yang sebelumnya sekitar Rp200–Rp300 perlembar akan naik menjadi Rp450–Rp500 per lembar karena penerapan cukai plastik.
Ada tiga alasan untuk pungutan plastik menurut Powell (2018), yaitu ; mengubah perilaku konsumen, internalisasi biaya sosial yang ditimbulkan, dan memperoleh penerimaan.
Menurut penulis, tujuan utama kebijakan cukai plastik di Indonesia lebih condong untuk mendorong masyarakat beralih kepada barang yang lebih ramah lingkungan, mengingat harga yang diterapkan masih tergolong rendah.
Pengalaman sebelumnya atas kebijakan plastik berbayar yang diterapkan di toko ritel oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (APRINDO) belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan penggunaan plastik. Walaupun beberapa pelanggan mulai beralih ke kantong yang dapat digunakan kembali, sebagian besar tetap membayar kantong plastik tanpa memikirkan harga karena harga yang diberikan juga tidak terlalu mahal. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh Baidarus & Siburian (2018), willingness to pay untuk membayar kantong plastik cukup tinggi karena plastik termasuk barang inelastis.
Mereka juga berpendapat bahwa kebijakan cukai plastik, daripada untuk mengurangi penggunaan plastik, lebih cenderung dikenakan untuk meningkatkan penerimaan negara. Hal tersebut juga dikuatkan dengan ungkapan Suryani (2017) yang mengatakan bahwa meskipun ada upaya untuk mengurangi penggunaan plastik, masyarakat masih cukup memiliki kesediaan tinggi untuk membayar kantong plastik.
Maka, jika pemerintah benar-benar ingin kebijakan cukai plastik efektif dalam menekan konsumsi, tarif yang dikenakan harus jauh lebih tinggi. Internalisasi biaya sosial melalui kebijakan cukai plastik diharapkan dapat memastikan bahwa efek negatif plastik, seperti polusi dan kerusakan ekosistem, akan tercermin dalam harga produk. Langkah ini jika diterapkan dengan baik dapat mengubah perilaku konsumen secara signifikan, seperti yang terjadi di Irlandia dengan mengenakan tarif yang cukup tinggi untuk kantong plastik.
Irlandia mengadopsi kebijakan pajak dengan tarif tinggi untuk mengurangi penggunaan plastik. Tarifnya setara dengan Rp322.990 per kilogram atau Rp3.272 per lembar, adalah yang tertinggi di dunia, dan bertujuan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai, yang menyumbang hingga 5% dari total sampah plastik di negara tersebut. Kebijakan ini berhasil mengurangi penggunaan kantong plastik di masyarakat dengan tarif awal sebesar 0,15 euro per kantong.
Untuk memperkuat dampaknya, tarif tersebut dinaikkan menjadi EUR 0,22 pada tahun 2007 (Newman et al., 2013). Menurut Department of the Environment, Community and Local Government, kebijakan ini benar-benar berhasil dalam menurunkan sampah plastik. Pada tahun 2010, sampah plastik di laut berhasil ditekan menjadi hanya 0,25% dari yang sebelumnya mencapai 5% dari total limbah laut pada tahun 2001. Capaian ini menjadikan Irlandia sebagai contoh sukses dalam memanfaatkan kebijakan fiskal untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Atas keberhasilan Irlandia, penulis berharap bahwa Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi langkah yang diterapkan oleh Irlandia dengan menyesuaikan kebijakan pada konteks lokal.
Selain itu, diperlukan penerapan earmarking atas pendapatan dari cukai plastik untuk program lingkungan. Yustiani & Maryadi (2020) menyebutkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan plastik berbayar masih rendah karena belum ada transparansi mengenai alokasi pendapatan dari pungutan ini. Diharapkan dengan adanya earmarking dapat membantu masyarakat melihat langsung bagaimana transparansi atas dana tersebut digunakan untuk mendukung kemajuan lingkungan, hal ini nantinya juga akan meningkatkan tax compliance masyarakat terhadap pajak.
Bagaimanapun, tarif tinggi yang seharusnya diterapkan tidaklah tanpa risiko. Pemerintah tetap harus mempertimbangkan efeknya terhadap ekonomi, terutama pada sektor usaha kecil yang masih bergantung pada plastik murah. Peningkatan harga plastik dapat meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya membebani usahawan kecil. Kementerian Keuangan (2021) menyatakan bahwa diperlukan analisis mendalam untuk memastikan kebijakan ini tidak hanya efektif secara lingkungan, tetapi juga adil secara ekonomi.
Di Irlandia, Department of the Environment, Community and Local Government menyatakan bahwa hasil penerimaan pajak plastik ini tidak hanya digunakan untuk pengelolaan limbah, tetapi juga dialokasikan untuk mendukung berbagai inisiatif lingkungan. Pendapatan tersebut dikelola untuk membiayai organisasi lingkungan, penelitian pengelolaan limbah, dan program edukasi publik. Selain itu, dana ini juga digunakan untuk kemitraan dengan otoritas lokal dalam meningkatkan kualitas lingkungan komunitas setempat. Upaya ini membuktikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya bertujuan mengurangi konsumsi plastik, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang dalam pengelolaan lingkungan.
Di tengah penurunan permintaan untuk kantong plastik setelah kebijakan pajak plastik diberlakukan, salah satu produsen plastik di Irlandia mengalami kebangkrutan. Hal ini menyebabkan hilangnya 26 lapangan kerja. Meskipun demikian, penelitian ini menyatakan bahwa perusahaan juga menghadapi banyak masalah bisnis lainnya, maka kebijakan ini mungkin bukan satu-satunya penyebab (Convery et al., 2007). Maka dari itu, agar kebijakan cukai plastik di Indonesia tidak menempatkan masyarakat berpenghasilan rendah dan sektor industri berada di bawah tekanan yang berlebihan, pendekatan yang seimbang harus diterapkan.
Irlandia adalah bukti sempurna dari bagaimana kebijakan cukai plastik dapat menghasilkan perubahan besar dalam mengurangi limbah dan berhasil mendorong masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Kesuksesan Irlandia menunjukkan peluang bahwa kebijakan serupa dapat dibuat oleh Indonesia jika diterapkan dengan tepat. Namun, penting untuk pemerintah perhatikan bahwa dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan cukai plastik dianalisis secara menyeluruh agar tidak menimbulkan beban yang tidak proporsional bagi kelompok tertentu.