HOLOPIS.COM, JAKARTA – Harga beras di Indonesia disebut paling mahal di ASEAN. Pasalnya, perbedaan harga beras di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya mencapai 20 persen.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi meminta masyarakat untuk tidak terprovokasi dengan pernyataan mengenai harga beras tersebut.

Sebab menurutnya, data yang bagikan oleh Bank Dunia atau World Bank itu tidak lebih dari sekedar jebakan agar Indonesia bisa terus-menerus terjebak dalam pusaran impor pangan, yang dalam hal ini impor beras.

“Jadi kalau Bank Dunia menyampaikan pembatasan impor (yang dilakukan Indonesia) sehingga harga mahal, ya memang. Memang tugas kita sebagai negara melindungi petani kita,” ujar Arief dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Minggu (29/9).

“Sekarang kita jangan terpancing oleh statement Bank Dunia karena kita tidak impor maka harga tinggi. Indonesia saat ini memang sedang meningkatkan kesejahteraan petani,” sambungnya.

Arief menyampaikan, Indonesia harus kompak untuk melakukan koreksi terkait dengan permasalahan pangan, guna meningkatkan produksi petani. Menurutnya, hal itu penting dilakukan guna menekan harga beras agar bisa lebih terjangkau bagi masyarakat.

“Yang harus kita kerjakan adalah self correction. Kita harus tingkatkan produksi bersama-sama, semua elemen harus bekerja sama. Benih kita perbaiki, pupuk, penyuluh, teknologi, food cost kita perbaiki. Memang banyak yang harus dikerjakan,” ujarnya.

Sebelumnya Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste, East Asia dan Pacific World Bank, Carolyn Turk menyoroti terkait mahalnya harga beras di Indonesia, yang disebut paling mahal se-ASEAN. Ia mengungkap, tingginya harga beras di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pembatasan impor.

Tek cuma itu, mahalnya harga beras di Indonesia kata Carolyn, merupakan dampak keputusan pemerintah menaikkan harga jual beras dan melemahkan daya saing pertanian. Mirisnya lagi, tingginya harga beras tidak diikuti dengan kesejahteraan petani.

Pendapatan petani di Indonesia masih di bawah USD1 atau setara Rp15.207 per hari. Artinya dalam setahun penghasilan petani Indonesia kurang dari USD341 atau setara Rp5 juta.

“Yang kita lihat adalah bahwa pendapatan banyak petani marjinal seringkali jauh di bawah upah minimum, bahkan sering kali berada di bawah garis kemiskinan,” tutur Carolyn beberapa waktu lalu.