HOLOPIS.COM, JAKARTA – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyoroti terkait masih terdapat kadidat calon pimpinan (capim) dan calon dewan pengawas (cadewas) KPK bermasalah, yang disinyalir telah melanggar etik.

“Dari 20 nama kandidat calon Komisioner KPK, ada sejumlah nama yang sebelumnya pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik, seperti Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, seperti dikutip Holopis.com, Kamis (12/9).

Kurnia mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa Penitia Seleksi (Pansel) KPK masih belum maksimal dalam menggali rekam jejak para kandidat, mengingat saat ini proses seleksi telah memasuki tahap akhir.

“Pada dasarnya, ada banyak kanal informasi yang bisa dimanfaatkan oleh Pansel untuk mengetahui hal tersebut, salah satunya Dewan Pengawas KPK,” ujarnya.

Kemudian, Kurnia mengatakan hal ini bukan hanya soal integritas, dalam lingkup kompetensi. Pihaknya, kata Kurnia, juga melihat terdapat pejabat struktural KPK yang masih diloloskan oleh Pansel, yaitu Johanis Tanak.

“Di bawah kepemimpinannya, lembaga pemberantas korupsi itu kerap dipersepsikan negatif oleh masyarakat, serta kerap menimbulkan kegaduhan. Jika model kepemimpinannya begitu, lalu untuk apa tetap diloloskan? Bukankah hanya akan mengulangi hal yang sama jika kelak ia terpilih?” tuturnya.

Selain itu, Kurnia juga menyoroti sial dominasi kandidat masih berlatar belakang Aparat Penegak Hukum (APH). Berdasarkan pengamatan ICW, kata Kurnia, dari total 20 orang kandidat calon Komisioner KPK, 45 persen atau sekitar 9 orang diantaranya berasal dari klaster penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas.

“Dari situasi ini tentu timbul pertanyaan sebagai berikut ‘apakah Pansel sedari awal memang mengharapkan KPK diisi oleh para aparat penegak hukum? Bila itu benar, maka ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut,” tuturnya.

Kurnia mengatakan, dengan adanya dominasi kandidat APH ini, Pansel jelas melanggar Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 terkait kesamaan setiap orang di mata hukum.

“Mestinya proses seleksi ini dapat mengikuti perintah UU KPK yang memberikan keleluasaan bagi setiap kalangan, sepanjang memenuhi syarat, untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi Komisioner atau Dewan Pengawas KPK,” tuturnya.

Kemudian, dominasi aparat penegak hukum, kata Kurnia, dalam hasil seleksi kali ini mengundang persepsi di tengah masyarakat terkait adanya dugaan intervensi pihak lain kepada Pansel.

“Adapun intervensi yang dimaksud dapat berasal dari pihak manapun, misalnya, kalangan eksekutif atau mungkin pimpinan aparat penegak hukum,” ucapnya.

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan, dominasi ini, menggambarkan bahwa Pansel pada dasarnya benar-benar tidak memahami seluk beluk kelembagaan KPK. Sebab, di dalam UU KPK tidak ditemukan satupun pasal yang mewajibkan kalangan aparat penegak hukum untuk mengisi struktur kepemimpinan KPK.

“Cara pandang tersebut justru membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda. Sederhananya, bagaimana memastikan independensi komisioner yang berasal dari penegak hukum jika kemudian hari KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya?” tutur Kurnia.

Terakhir, Kurnia meminta jaminan pada Pansel, bahwa calon dari klaster penegak hukum hanya akan tunduk pada perintah UU di tengah maraknya fenomena jiwa korsa di lembaga asalnya.