HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada hari Selasa (20/8) lalu dianggap tidak konsisten.
Hal ini seperti disampaikan oleh Pengamat Hukum Tata Negara, Abd. Rahmatullah Rorano S. Abubakar. Ia mengatakan bahwa rumusan norma mengenai ambang batas pencalonan semestinya menjadi open legal policy pembentuk Undang-Undang yang secara atributif diberikan oleh konstitusi.
Ia juga menyebut, MK melakukan tindakan ultra petita dengan memutus obyek perkara yang tidak diajukan oleh para pemohon.
“MK lagi-lagi menjalankan positive legislator mengambil alih peran pembentuk UU, hal ini menjadikan MK Melampaui kewenangannya,” terang Rorano seperti dikutip Holopis.com, Kamis (22/8).
Rorano mengatakan, MK juga tidak konsisten dalam berbagai putusan khususnya berkaitan dengan pemilihan umum (Pemilu).
“Sebagai contoh mengenai gugatan ambang batas pencalon Presiden dan Wakil presiden. MK justru menilai bahwa hal tersebut merupakan open legal policy” tutur nya
Lebih lanjut ia menguraikan, dalam putusan-putusan MK terdahulu baik melalui Putusan 55/PUU-XVII/2019 dan dikuatkan dengan Putusan No.85/PUU-XX/2022, justru tafsir MK di dasarkan atas original intent terhadap konstitusi (UUD 1945) tidak lagi membedakan antara rezim pemilu dengan rezim pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Situasi kontradiktif yang demikian tentu akan menjadi problematik. Tetapi terlepas dari soal itu, tentu semua pihak mesti patuh pada putusan MK, sebab putusannya final & mengikat, berlaku secara serta merta,” pungkasnya.