HOLOPIS.COM, JAKARTA – PDIP melontarkan berbagai tudingan sporadis atas reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi di penghujung masa jabatannya.

Tudingan pertama yang dilontarkan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat adalah berkaitan dengan ketidakhadiran Presiden Terpilih Prabowo Subianto di proses pelantikan menteri baru.

“Kita juga mempertanyakan apakah reshuffle kabinet itu juga hasil dari Pak Jokowi dengan presiden terpilih, yaitu Pak Prabowo? Karena kita lihat tadi Pak Prabowo tidak menghadiri acara pelantikan dan pengambilan sumpah reshuffle,” kata Djarot dalam pernyataannya pada Senin (19/8) seperti dikutip Holopis.com.

Tudingan berikutnya yang disampaikan Dajrot adalah karena Yasonna dianggap telah memperpanjang kepengurusan DPP PDIP tanpa persetujuan Presiden Jokowi.

“Karena Pak Yasonna mungkin ditegur karena tidak meminta persetujuan kepada presiden atas pengesahan perpanjangan kepengurusan DPP partai kemarin. Karena pengesahan kepengurusan partai harus melalui Kemenkumham,” ujarnya.

Tak hanya tuduhan, Djarot yang kalah di Pilgub Sumatera Utara itu pun memberikan penilaian bahwa pergantian menteri kabinet dengan sisa masa jabatan yang kurang dari dua bulan tak efektif untuk pemerintahan dan lebih kental dengan muatan politis.

“Sebab, dengan kebijakan-kebijakan strategis ini bisa membebani pemerintah berikutnya, misalnya dengan penempatan seseorang dalam jabatan strategis, bayangkan cuma kurang dua bulan 43 hari efektif,” tudingnya.

Tak hanya itu, Djarot juga menuduh bahwa Jokowi sengaja ingin mengontrol seluruh partai politik dengan proses reshuffle yang dilakukannya jelang akhir masa jabatan.

“Oleh sebab itu, kami anggap bahwa ini merupakan suatu peristiwa politik dan menjadi event atau kesempatan dari Pak Jokowi untuk mengkonsolidir kekuasaannya, kekuatannya, dalam rangka mengontrol atau mendesakkan orang-orangnya pada pemerintahan yang akan datang,” tukasnya.

Djarot mengatakan apa yang dilakukan Presiden Jokowi tak lazim dilakukan oleh presiden pada pengujung masa jabatannya. Dia menyinggung kebijakan yang diambil Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, menjelang pergantian kekuasaan ke Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Oleh karena itu, di dalam pemerintahan meskipun itu hak prerogatif presiden tetapi ada etika, etika pemerintahan, Bu Mega sebelum lengser sebelum berhenti tidak pernah mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang akan membebani pemerintahan Pak SBY,” ucapnya.