HOLOPIS.COM, JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) mengingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) akan potensi kadaluarsa penanganan kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pembelian 15 unit pesawat MA60 oleh Merpati Nusantara Airlines.
Sebab itu, IPW mendesak Korps Adhyaksa untuk melanjutkan penanganan kasus diduga merugikan keuangan negara sejumlah US$46,5 juta itu.
Demikian disampaikan Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso. Bukan tanpa alasan hal itu disampaikan. Pasalnya, kasus dugaan korupsi itu telah ditangani sejak 2011 atau 13 tahun silam dan seakan masuk ‘peti es’ Kejagung.
“Ini perlu diingatkan karena kasus ini bagaikan masuk ke dalam peti es dan berpotensi kedaluarsa tidak bisa dituntut,” ungkap Sugeng Teguh Santoso di Jakarta, seperti dikutip Holopis.com, Kamis (15/8).
Kejaksaan diingatkan akan masa kedaluwarsa penuntutan selama 18 tahun. Sebab itu, Kejaksaan diminta untuk serius menuntaskan dugaan korupsi tersebut.
“Kami ini sebagai lembaga pemantau hukum ya dapat data. Kemudian sebagai suatu data untuk kepentingan hukum tidak ada salahnya kita angkat kembali. Jadi, semua data yang disampaikan kalau itu terkonfirmasi kita harus angkat kembali,” kata dia.
“Untuk supaya dugaan permainan patgulipat atau kongkalikong yang dilakukan oleh pengusaha dengan menyalahgunakan kewenangan pejabat itu bisa dibongkar. Apalagi ini uang negara kalau dihitung dengan kurs sekarang kerugiannya itu sekitar hampir Rp 700 miliar,” tegas Sugeng menambahkan.
Sugeng dalam kesempatan ini menuturkan kronologi kasus tersebut. Dimana pada 29 Agustus 2005, di tengah berlangsungnya Joint Commission Meeting Indonesia-China, terdapat penawaran pembelian pesawat MA60 kepada perusahaan Merpati Nusantara Airlines. Lalu dilanjutkan dengan penandatanganan MoU pada 2006 antara Merpati Nusantara Airlines dengan Xian Aircraft Industry dari China.
Pada tanggal 5 Agustus 2008 dilakukan penandatanganan pembelian 15 unit pesawat MA60 untuk Merpati Nusantara Airlines antara Dirjen Pengelolaan Utang mewakili Pemerintah Indonesia dengan China Exim Bank dengan sistem pengucuran pinjaman yang dijamin pemerintah, dengan kebijakan politik pengalokasian anggaran hanya berdasarkan persetujuan oknum Anggota DPR Komisi IX dalam hal dikeluarkannya subsidiary loan agreement atau SLA senilai US$200 juta.
Dikatakan Sugeng, harga per unit pesawat MA60 yang diproduksi Xian Aircraft Industry yang ternyata tidak memiliki sertifikasi Federation Aviation Asministration (FAA) itu sebesar US$11,2 juta, diduga digelembungkan dan/atau di-mark up menjadi US$14,3 juta per unit dengan skema pembelian yang semula B to B (business to business) diubah dan/atau dimanipulasi menjadi G to B (government to business).
“Modus operandi untuk mengamankan uang hasil tindak pidana korupsi dan TPPU sebesar US$46,5 juta dilakukan melalui rekayasa dengan memunculkan broker ‘boneka’ yang dikontruksikan seolah-olah menjadi agen penjualan 15 unit pesawat Xian Aircraft Industry, yang diperankan oleh MS dengan memakai PT MGGS diduga atas inisiatif AH, pemilik PT IMC PL dan PT IM,” ucap Sugeng.
Diduga uang hasil tindak pidana korupsi itu sudah dialihkan atau dibelanjakan mengingat kasus terjadi sangat lama. Dimana diduga uang digunakan untuk membeli barang-barang termasuk floating crane batubara guna disamarkan.
Sugeng lantas mengutip laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan PT MGGS dikenal sebagai agen penjualan 15 unit pesawat Xian Aircraft Industry dari China senilai Rp 2,13 triliun atau US$232,443 juta.
Dari tahun 2007 hingga 2011, operasional pesawat disebut mengalami kerugian sebesar Rp 56 miliar. Di mana salah satu pesawat M60 jatuh di perairan Kaimana Papua Barat yang menewaskan 27 penumpang pada 11 Mei 2011.
Atas dasar fakta dan alat bukti yang saling bersesuaian, ditegaskan Sugeng, dugaan tindak pidana korupsi dan atau TPPU dalam pembelian 15 unit pesawat MA60 yang pernah diselidiki Kejaksaan sejak 2011 patut diteruskan.
“Kami menuntut agar kasus dugaan tindak pidana korupsi korupsi dan/atau TPPU dalam pembelian 15 Unit pesawat MA60 yang merugikan negara senilai US$46,5 juta tersebut dapat ditindaklanjuti kembali dalam rangka mencegah terjadinya cold case sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Ini sengaja diungkap supaya mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar kasus ini tidak kadaluarsa. Kalau berdasarkan penghitungan saya itu kadaluarsa tahun 2027. 2027 itu tinggal beberapa tahun lagi, 2 tahun setengah lagi. Ini bisa hilang dan orang-orang yang menikmati uang itu berharap ini kadaluarsa,” tandas Sugeng.