HOLOPIS.COM, JAKARTA – Dalam Islam, aqiqah dan kurban merupakan ibadah yang memiliki persamaan, dimana keduanya dalam pelaksanaannya sama-sama menyembelih hewan yang memenuhi syarat untuk dipotong.
Persamaannya juga ada pada hukumnya, dimana kedua ibadah ini sama-sama tidak wajib alias sunnah, selagi tidak ada nadzar untuk berkurban atau untuk aqiqah.
Adapun untuk perbedaan antara keduanya ada pada waktu pelaksanaannya, dimana kurban hanya dapat dilakukan pada bulan Dzulhijjah atau saat hari raya Idul Adha.
Sedangkan aqiqah dilaksanakan pada saat mengiringi kelahiran seorang bayi, atau ebih dianjurkan lagi pada hari ketujuh dari kelahiran bayi tersebut.
Pada dasarnya, aqiqah merupakan hak seorang anak atas orang tuanya. Atau dengan kata lain, aqiqah ini lebih dianjurkan untuk dilakukan oleh para orang tua dalam rangka menyongsong kelahiran anaknya.
Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah:
مَعَ الغُلاَمِ عَقِيقَةٌ
Artinya: Aqiqah menyertai lahirnya seorang bayi. (HR Bukhari).
Beberapa ulama berpendapat, bahwa pelaksanaan aqiqah dianjurkan kepada orang tua hingga si anak baligh. Setelahnya, anjuran aqiqah tidak lagi dibebankan kepada orang tua, melainkan diserahkan kepada sang anak.
Dalam hal ini, sang anak bisa melaksanakan aqiqah sendiri atau meninggalkannya. Namun melaksanakan aqiqah lebih baik daripada tidak melaksanakanya.
Lantas manakah yang didahulukan antara kurban dan aqiqah?
Jawabannya adalah tergantung momentum serta situasi dan kondisi. JIka mendekati waktu Idul Adha, tentu yang paling utama untuk dilaksanakan terlebih dahulu adalah kurban.
Namun seseorang bisa juga melaksakan keduanya, yakni kurban dan aqiqah secara bersamaan. Hal mengikuti pendapat Imam Ramli yang membolehkan dua niat dalam menyembelih seekor hewan, yakni niat kurban dan aqiqah sekaligus.
Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam kitab Tausyikh karya Syekh Nawawi al-Bantani:
قال ابن حجر لو أراد بالشاة الواحدة الأضحية والعقيقة لم يكف خلافا للعلامة الرملى حيث قال ولو نوى بالشاة المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا
Artinya: Ibnu Hajar berkata bahwa seandainya ada seseorang menginginkan dengan satu kambing untuk kurban dan aqiqah, maka hal ini tidak cukup. Berbeda dengan al-‘Allamah Ar-Ramli yang mengatakan bahwa apabila seseorang berniat dengan satu kambing yang disembelih untuk kurban dan aqiqah, maka kedua-duanya dapat terealisasi.
Dari pendapat Imam Ramli ini tentu terdapat masalah pada pembagian dagingnya, dimana daging kurban lebih afdlal dibagikan dalam kondisi belum dimasak. Sementara aqiqah dibagikan dalam kondisi siap saji.
Masalah ini bukan menjadi masalah berarti, sebab cara pembagian daging tersebut bukan hal yang subtantif. Pasalnya, cara pembagian dilakukan untuk meraih keutamaan, bukan menyangkut keabsahan ibadah.