“Bantuan di sana kalau saya boleh bilang sangat-sangat terbatas aksesnya. Jadi kalau untuk mengirimkan bantuan dari Kairo ke Gerbang Rafah itu memakan waktu berhari-hari. Karena banyak checkpoint militer di Gerbang Rafah yang bahkan bisa memakan waktu 24 hari untuk bantuan itu sampai. Jadi ini menjadi salah satu faktor krusial terhambatnya bantuan, karena militer Israel menyeleksi dan mengontrol akses bantuan. Kalau ditanya bantuan apa yang bisa kita berikan untuk Palestina? Apa pun yang terbaik yang bisa kita berikan, harus kita berikan untuk saudara kita di Palestina. Karena bukan mereka yang butuh kita, tapi kita yang butuh mereka. Saat nanti di hari penghakiman, mereka akan bersaksi kepada kita (atas upaya bantuan bagi masyarakat Palestina),” jelasnya lagi.

Pernyataan dukungan terhadap Palestina dari dunia terus bertumbuh. Perubahan paradigma dan sudut pandang tersebut, terus mendesak Israel dan negara barat untuk menghentikan konflik kemanusiaan tersebut. Seperti yang diungkapkan CJ Werlemen, seorang jurnalis asal Australia yang kerap melakukan liputan di daerah konflik.

“Saya bukan orang Palestina, tapi saya sangat terkejut dengan peristiwa ini. Kabar baiknya, ada perubahan attitude dalam budaya atau perspektif Barat. Banyak orang mengetahui adanya konflik ini. Walaupun belum semua berani menyuarakan perlawanan terhadap Israel yang di belakangnya ada dukungan negara Barat. Saat dulu berbicara Palestina adalah konflik agama, tetapi sekarang dunia melihat konflik Palestina selayaknya pelanggaran hak asasi manusia dan konflik kemanusiaan. Termasuk juga 63 persen dunia mendukung kemerdekaan Palestina dan yang menolak hanya 20 persen, selebihnya abstain. Bahkan aksi mendukung Palestina di negara Barat sudah diikuti ratusan ribu orang. Namun kabar buruknya, Israel terus membunuh, mengambil lahan, memuat kerja sama dengan Barat agar Palestina yang didesak keluar dari tempatnya sendiri tidak bisa kembali lagi ke tanah mereka. Jadi, apakah aksi-aksi tersebut masih cukup waktu untuk mengubah kebijakan negara Barat terhadap Gaza, Palestina, dan ketika dunia berubah, apakah di sana masih ada Palestina?” tegas CJ Werleman.

Pernyataan Werleman makin diperkuat dengan cerita salah satu warga Palestina akan kondisi di sana dari tahun ke tahun. Adham Abu Selmiya, salah satu sosial media influencer Gaza, menceritakan langsung konflik di sana dari tahun ke tahun yang tentunya turut menewaskan keluarga dan kerabatnya.

“Mengapa Israel memerangi kebenaran dan jurnalis? Saya menjawab dengan cerita pengalaman keluarga saya sendiri. Tahun 2006 perang di Gaza, Israel jam tiga pagi menyerang rumah paman saya, tujuh anaknya meninggal syahid. Tapi ada kabar gembira, karena ada dua anaknya yang selamat. Tahun 2021, Israel membunuh satu anak yang selamat tadi. Tahun 2023 lalu, Israel membunuh istri dan anak-anak saya. Maka yang terjadi adalah bukan tanggal 7 Oktober 2023 saja, tapi kenapa Israel menjajah kami?” akunya.

“Asal suku saya adalah suku yang kecil, tersisa sedikit anggota kami. Israel sudah bunuh keluargaku 25 orang. Ketika ada internet, kami coba hubungi ibu saya di sana, jawabnya selalu mengatakan ‘sabar’ pada saya. Kita semua mungkin bisa menyampaikan pesan selamat Ramadan pada ibu kita di sini, tapi saya tidak bisa lakukan itu pada ibu saya. Kenapa 7 Oktober? Bayangkan di ruang ini ada 1,3 juta orang tahun lalu, sekarang ada 2 juta orang saja tahun ini. Bayangkan ruang ini adalah Gaza, Israel memblokade tanpa adanya pangan, pekerjaan, atau kebutuhan pokok yang masuk, tidak ada listrik, tiap hari listrik hanya ada 4 jam. Kedatangan bantuan air sangat dirayakan. Tapi WHO bilang air juga 80 persen tidak layak konsumsi,” jelasnya lagi.

“Sebelum 7 Oktober, Israel sudah menghancurkan Palestina. Israel menginginkan bahwa Gaza tidak ada lagi di dunia. Karena pada perang kali ini, sudah ada 165 jurnalis terbunuh dan 35 rumah sakit diserang termasuk membunuh dengan kejam kepala Rumah Sakit As Syifa di Gaza, yang kebetulan juga paman saya. Namun di balik kesedihan ini, ada satu juta harapan di Gaza. Karena di sana diisi oleh orang berpendidikan dan para penghafal Al-Qur’an. Terima kasih Indonesia yang terus memberikan dukungan kepada kami,” tutur Adham Abu Selmiya menutup Palestinian Talks petang itu.