HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua DPR RI Puan Maharani bersama 23 ketua parlemen perempuan dunia lainnya yang menjadi peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketua Parlemen perempuan dunia atau Women Speakers’ Summit 2024 di Prancis menandatangani joint statement. Deklarasi bersama itu untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dipimpin Ketua Majelis Nasional Prancis, Madame Yaël Braun-Pivet, Women Speakers’ Summit 2024 digelar di Hotel de Lassay, Paris, sejak 6 Maret lalu. Women Speakers’ Summit sendiri berada di bawah naungan Inter-Parliamentary Union (IPU) yang merupakan asosiasi parlemen negara-negara di dunia.
ketua parlemen perempuan membuat deklarasi bersama yang menjadi kesimpulan dari pembahasan di Women Speakers’ Summit 2024.
“Kami, para Ketua Perempuan di Majelis Parlemen Nasional, berkumpul di Paris untuk menegaskan kembali dukungan kami yang teguh terhadap hak-hak perempuan,” kata Puan, Sabtu (9/3/2024).
Melalui KTT ini, para ketua parlemen perempuan dunia ingin mendorong diplomasi parlemen yang aktif dan berkomitmen kuat untuk mencapai tujuan ini. Puan pun menegaskan siap untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan.
“Melalui karier dan keyakinan politik kami, kami dapat menginspirasi dan, yang terpenting, mengadvokasi perjuangan hak-hak perempuan,” tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Dalam deklarasi tersebut, para speakers (ketua parlemen) perempuan menyatakan mempunyai tanggung jawab untuk mengecam dan mengutuk keras kekerasan seksual terhadap perempuan pada saat konflik. Hal ini lantaran kekerasan seksual merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
“Pada akhirnya, parlemen nasional, yang merupakan perwakilan negara mereka, berada di garis depan dalam membela hak-hak perempuan, dan mendorong kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta efektivitasnya melalui undang-undang yang mereka rancang, disahkan, dan diawasi,” papar Puan.
“Dengan memperkuat hak-hak perempuan dan anak perempuan, umat manusia secara keseluruhan akan bergerak maju,” lanjutnya.
Saat diskusi di KTT, Puan sempat menyoroti soal perempuan yang rentan menjadi korban dalam berbagai konflik di belahan dunia. Ia menyinggung korban perang di Gaza dan Ukraina di mana banyak remaja perempuan mengalami learning-loss akibat rusaknya sekolah-sekolah dan terhentinya kegiatan belajar, hingga terbatasnya pendidikan formal di berbagai wilayah yang mengalami konflik internal seperti di Myanmar dan Sudan.