Dari penelusuran ditemukan sejumlah lahan bekas galian tambang ilegal sudah menjadi danau besar, seperti nampak di sekitar Pabrik PT. RBT di Kabupaten Bangka.Di sekitar itu, ada juga Pabrik PT. MSP yang dimiliki keponakan salah seorang politisi partai politik. Tidak tampak aktifitas warga di bekas lahan pertanian dan perkebunan tersebut. Banyak bekas galian dibiarkan tanpa diketahui kapan akan direklamasi.
Dari berbagai informasi terhimpun, RBT semula dimiliki oleh Artha Graha Network (AGN), tapi sekitar Agustus 2016 beralih ke sekelompok pengusaha. Alasannya, AGN tidak ingin bermain di bisnis tersebut. Diduga para pengusaha tersebut berinisial RBT, HM dan lainnya melanjutkan bisnis tersebut.
Di samping itu juga, RBT dan 4 Smelter lain yang menjalankan kerja sama dengan PT. Timah hanya menampung timah hasil tambang ilegal di seantero Bangka. Hasilnya dijual kepada PT. Timah.
Pihak Walhi juga menjelaskan maraknya praktik tambang ilegal sebelum ini lantaran tidak jalannya fungsi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Tidak berjalannya fungsi ketiga lembaga tersebut karena adanya dugaan perselingkuhan dan atau apalah istilahnya menjadi sebab masyarakat Bangka Belitung (Babel), khususnya Bangka tidak berdaya.
Praktik tersebut makin masif juga didorong oleh sistem demokrasi yang memaksa para calon (Gubernur, Bupati/Walikota dan Legislatif) harus keluar duit banyak agar terpilih.
“Itu ikut menyumbang. Meski masih perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan asumsi tersebut,” tukas Ahmad.
Walhi kemudian mendesak Pemerintah, baik Pusat dan Daerah agar sungguh-sungguh dalam menuntaskan tambang ilegal di Indonesia. Karena mereka khawatir, jika tidak ada kesungguhan maka Babel yang dikenal dengan Timah-nya akan jadi kenangan dan peninggalan sejarah, khususnya masyarakat Babel.
“Maka sebelum semua terjadi, Pemerintah harus segera adakan moratorium dengan tidak memberikan IUP baru dan mengkaji IUP yang sudah diberikan agar Babel terselamatkan,” tutupnya.