HOLOPIS.COM, BOGOR – Prof Yudi Latief mengajak semua Mahasiswa dan generasi muda Indonesia untuk melek terhadap demokrasi dan tidak abai dengan tatanan sosial politik yang ada. Hal ini disampaikan mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut di hadapan para Mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Budi Bakti.

“Peradaban negara bangsa bisa berlangsung baik apabila tata kelola politik demokrasi berjalan baik, tata kelola ekonominya adik dan tata kelola nilai karakter terbentuk dengan baik,” kata Yudi Latif dalam kuliah umumnya seperti dikutip Holopis.com, Selasa (20/2).

Kemudian, di dalam kuliah umumnya dengan tema manajemen kepemimpinan negara demokratis, Yudi pun mengajak kepada seluruh mahasiswa untuk menyelami hal-hal mendasar mengenai demokrasi dan tujuannya.

Hal ini penting agar para anak muda mampu membantu mengatasi persoalan bangsa ke depan karena sudah memahami akar masalahnya dengan baik.

“Kondisi Indonesia saat ini merujuk pada kata-kata Soekarno, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terjajah. Cirinya, rakyat membeli barang-barang semahal-mahalnya kemudian produsen menjual barang semurah-murahnya,” ujarnya.

Menurut pria yang juga merupakan pembina yayasan Dompet Dhuafa ini, bahwa tata kelola demokrasi menjadi kunci bagi tata kelola nilai, karakter dan ekonomi.

“Mencari tata kelola politik ekonomi demi kesejahteraan kuncinya di pengelolaan politik yang baik. Politik bukan kuasa demi kuasa, bukan pemilu demi pemilu, namun politik itu punya tugas transformasi sosial masyarakat,” papar Yudi.

“Politik yang demokratis punya tugas menjaga keragaman persatuan nasional Indonesia. Namun, jika demokrasi yang hanya menguntungkan segelintir orang kaya maka akan muncul gejolak di masyarakat,” sambung dia.

Lantas, S3 Sosiologi Politik dan Komunikasi di Australian National University tersebut pun memaparkan, bahwa persoalan sosial ekonomi politik nasional masih perlu mendapatkan penanganan serius oleh generasi penerus. Sebab kata dia, saat ini banyak kesenjangan yang terjadi antara si kaya dan si miskin yang seharusnya bisa dientaskan oleh negara sekelas Indonesia.

“Fakta demokrasi Indonesia sejak zaman Presiden Soekarno sampai zaman reformasi saat ini, kondisi Indonesia di mana masyarakat pasca kolonial masih ditemukan dengan kesenjangan ekonomi. Bahkan kesenjangan makin meningkat setelah reformasi,” tuturnya.

Hal ini kata Yudi, tak bisa lepas dari kondisi demokrasi yang tidak dijalankan dengan sebaik mungkin oleh para pemangku kebijakan dan kesadaran masyarakatnya.

“Demokrasi membuat kesenjangan ekonomi semakin melebar, persatuan semakin merenggang. Salah satu contoh bagaimana keberpihakan negara yaitu dalam pembuatan UU yang terkait dengan kepentingan rakyat akan sangat lama di bahas, sedangkan UU yang berkepentingan dengan usaha segelintir orang kaya berkuasa akan lebih cepat pembahasan dan pengesahan,” tukasnya.

Oleh sebab itu, Prof Yudi berpesan agar siapa pun pemimpin masa depan harus benar-benar mau memikirkan dan berbuat lebih terhadap masa depan Indonesia, khususnya dalam kematangan tatanan sosial, ekonomi dan politik dalam alam demokrasi di dalam negeri.

“Mengenai kepemimpinan dan keberlanjutan. Keberlanjutan program pemerintah atau negara seharusnya terlembagakan bukan dengan keberlanjutan kepemimpinan dari hubungan darah,” pungkasnya.