HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kasus dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan 2022 tak hanya merugikan keuangan negara.

Di luar itu, kerugian ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah ilegal tersebut ditaksir mencapai Rp 271.069.687.018.700 atau Rp 271 triliun.

Angka dugaan kerusakan lingkungan tersebut berdasarkan perhitungan Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama ahli lingkungan. Nilai itu diklaim belum final lantaran sampai saat ini perhitungan kerugian negara masih berproses.

“Itu tadi hasil penghitungan kerugian ekologis dan kerugian itu masih akan ditambah dengan kerugian negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya? nanti masih kita tunggu,” ungkap Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Kuntadi, dalam jumpa pers, di kantornya Jakarta, seperti dikutip Holopis.com, Senin (19/2).

Sementara itu, Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Bambang Hero Saharjo mengatakan, kerugian akibat kerusakan ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah ilegal di Bangka Belitung (Babel) mencapai Rp 271.069.688.018.700.

Kerusakan dari kasus pertambangan ilegal itu terdiri dari tiga jenis. Yakni, kerugian ekologis mencapai Rp 183,7 triliun, ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,4 triliun dan biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp 12,1 triliun. Kerugian kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan dan non-kawasan hutan itu berdasarkan total luas galian yang mencapai 170.363.064 hektar. Adapun penghitungan kerugian berdasarkan Permen LH No.7/2014 tentang kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

“Totalnya kerugian kerusakan tadi sebesar Rp 271.069.688.018.700,” ucap Bambang.

Bambang lebih lanjut menerangkan bahwa kerugian ini dihitung dari total biaya kerugian di kawasan hutan dan non-hutan. Akibat galian tambang, kerugian hutan ditaksir Rp 223,3 triliun. Sedangkan kerugian aktivitas tambang di kawasan non-hutan tercatat senilai Rp 47,7 triliun. Kerugian itu sudah termasuk kerugian ekologis, ekonomi lingkungan hingga biaya pemulihan.

Bambang menyebut lahan yang telah dibuka terkait aktivitas tambang komoditas timah di kawasan hutan dan non hutan seluas 170.363 hektare. Ternyata dari jumlah tersebut yang memiliki IUP hanya 88.900 hektare.

“Dari luasan yang 170.363,064 (hektar) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,462 hektar dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektar,” ungkap Bambang.

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 11 tersangka dan telah ditahan. Dari 11 orang itu, satu tersangka dijerat atas dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice.

Di antara 10 tersangka kasus korupsi itu yakni, General Manajer (GM) PT Tinindo Inter Nusa, Rosalina; Mochtar Riza Pahlevi Tabrani alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016 sampai dengan 2021; dan Emil Ermindra alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2017 sampai dengan 2018.

Lalu dua pengusaha tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, SG alias AW dan MBG. Kemudian, dua tersangka TN alias AN dan tersangka AA. Selanjutnya, HT alias AS selaku Direktur Utama CV VIP (perusahaan milik tersangka TN alias AN).

Kemudian, BY selaku Mantan Komisaris CV VIP dan RI selaku Direktur Utama PT SBS. Adapun tersangka perintangan penyidikan perkara korupsi ini berinisial TT.