HOLOPIS.COM, JAKARTA – Sebanyak 78 pegawai yang bertugas di Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijatuhi sanksi berat oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Puluhan pegawai itu dinyatakan terbukti melanggar etik lantaran menerima pungutan liar di Rutan KPK.
Adapun sanksi itu diputuskan majelis etik dalam persidangan kode etik yang digelar Dewas KPK, digedung ACLC KPK, Kamis (15/2). Sanksi berat itu berupa permohonan maaf secara terbuka kepada atasan langsung.
“Pada hari ini dewas telah menyidangkan kasus yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pegawai KPK, khususnya petugas rutan KPK. Keseluruhan para pegawai yang disidangkan hari ini berjumlah 90 orang, terdiri dari 6 berkas perkara. Jadi yang disidangkan hari ini ada 6 berkas perkara seluruhnya berjumlah 90 orang terperiksa,” ucap Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean dalam konferensi pers, seperti dikutip Holopis.com.
“Sanksi yang dijatuhkan terhadap para terperiksa adalah sanksi berat berupa permohonan maaf secara terbuka langsung. Jadi ada dua, satu mengenai putusan yang berhubungan dengan penyatuan sanksi berat sebagimana yg saya sampaikan tadi ada berjumlah 78 terperiksa,” ditambahkan Tumpak.
Untuk 12 pegawai lainnya, kata Tumpak, diserahkan oleh Dewas KPK kepada Sekretariat Jenderal KPK untuk dilaksanakan penyelesaian selanjutnya. “Kenapa? karena mereka melakukan perbuatan sebelum adanya dewan pengawas KPK. sehingga dewan pengawas KPK tidak berwenang untuk mengadili hal tersebut. 12 pegawai kita serahkan ke Sekjen untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya. Sedangkan 78 orang dari 90 itu telah dijatuhkan sanksi berat, berupa permohonan maaf secara langsung dan terbuka,” ujar Tumpak.
Tidak ada hal-hal yang meringankan dalam putusan etik ini. Sedangkan hal-hal yang memberatkan, yakni perbuatan para terperiksa dilakukan secara berlanjut dan berulang-ulang.
Akibat perbuatan para terperiksa kepercayaan publik kepada KPK semakin merosot. Perbuatan para terperiksa tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Semua dikenakan pasal 4 ayat 2 huruf b peraturan Dewan Pengawas Nomor 3/2021. apa itu? yaitu perbuatan menyalahgunakan kewenangan, jabatan dan atau kewenangan yang dimiliki termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai insan komisi dalam pelaksanaan tugas untuk kepentingan pribadi,” kata Tumpak.
Diketahui, pungli di rutan KPK pertama kali dibongkar oleh Dewas KPK beberapa waktu lalu. Praktik pungli ini telah terjadi sejak 2018 sampai dengan 2023.
Ada berbagai modus pungutan liar yang diterima pegawai KPK. Contohnya adalah agar tahanan bisa menggunakan handphone di dalam Rutan, dan memasukkan barang atau makanan atau lainnya ke dalam rutan.
Agar mendapatkan fasilitas tersebut, tahanan menyetorkan uang bulanan mulai dari Rp 10-20 juta. Uang itu dikumpulkan oleh tahanan yang dituakan atau disebut korting, lalu diserahkan kepada pegawai Rutan yang disebut sebagai ‘Lurah’. Selanjutnya ‘Lurah’ tersebut membagikan uang tersebut kepada para petugas Rutan KPK setiap bulannya.
“Lurah mempunyai tugas untuk mengambil uang bulanan dari korting atau orang kepercayaan/keluarga,” terang Tumpak.
Tumpak menegaskan, sejak berubahnya pegawai KPK menjadi ASN maka sanksi yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran etik hanya dapat dikenakan sanksi moral berupa permintaan maaf.
“Bahwa setelah berubah menjadi ASN, maka hukuman kita tidak bisa lain daripada hukuman yang namanya sanksi moral. Karena, sanksi etik pada ASN itu sanksi moral. Dulu, kita bisa berhentikan, sudah pernah kita lakukan sebelum waktu kita menjadi ASN, sudah banyak sebelum tahun 2021 Dewas memutus perkara memberhentikan pegawai karena melanggar etik,” terang Tumpak.
“Sekarang ini tidak begitu lagi, baru bisa diberhentikan kalau sudah melanggar disiplin PNS. Disiplin PNS ini bukan merupakan ranah daripada Dewas untuk mengadilinya, itu akan diadili oleh Sekjen ke bawah termasuk juga inspektorat. Makanya dalam kasus-kasus ini kami rekomendasikan kepada sekjen untuk dikenakan pelanggaran disiplin. Jadi, kalau mau diberhentikan, dipecat, dan sebagainya itu nanti pada waktu diputus dalam pelanggaran disiplin sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021,” ditambahkan Tumpak.
Adapun eksekusi permohonan maaf secara terbuka itu akan dilakukan oleh Sekjen KPK. Anggota Dewas KPK, Albertina Ho lebih lanjut menjelaskan permohonan maaf secara terbuka itu.
“Eksekusi kalau dalam peraturan dewas sudah ada aturannya, baca permintaan maaf, direkam audiovisualnya, lalu disiarkan di portal TV KPK. Maksudnya untuk efek jera, jadi dewas biasakan budaya malu. Teknis detilnya nanti,” ucap Albertina.
Berikut beberapa pegawai Rutan yang diduga menerima uang pungli :
1. Deden Rochendi dengan total keseluruhan sekitar Rp 425.500.000.
2. Agung Nugroho dengan total keseluruhan sekitar Rp 182.000.000
3. Hijrial Akbar dengan total keseluruhan sekitar Rp 111.000.000
4. Candra dengan total keseluruhan sekitar Rp 114.100.000
5. Ahmad Arif dengan total keseluruhan sekitar Rp 98.600.000
6. Ari Teguh Wibowo dengan total keseluruhan sekitar Rp 109.100.000
7. Dri Agung S. Sumadri dengan total keseluruher sekitar Rp 102.600.000
8. Andi Mardiansyah dengan total keseluruhan sekitar Rp 101.600.000
9. Eko Wisnu Oktario dengan total keseluruhan sekitar Rp 95.600.000
10. Farhan bin Zabidi dengan total keseluruhan sekitar Rp 95.600.000
11. Burhanudin dengan total keseluruhan sekitar Rp 65.000.000
12. Muhamad Rhamdan dengan total keseluruhan sekitar Rp 95.600.000
Albertina menyebut hampir seluruh tahanan pernah menyerahkan uang kepada pegawai Rutan KPK. Sayangnya, Dewas KPK tidak mengungkapkan siapa saja tahanan yang dimaksud lantaran Dewas KPK hanya berwenang dan fokus pada aspek penerima pungutan liar yang merupakan pegawai KPK.
“Hampir semua tahanan KPK yang pernah ditahan di sini pernah memberikan. Kami tidak mengadili yang memberikan. Sehingga tahanan yang memberikan tidak masuk di dalam putusan,” ucap Albertina.
Namun demikian, ada sejumlah tahanan yang tidak memberikan uang terhadap pegawai Rutan KPK. Pasalnya, ada diantara mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk menyerahkan uang.
“Contohnya tidak semua tahanan korupsi itu mampu. Misalnya hanya ajudan, belum pegawai negeri, dan sebagainya. Kan ada juga yang ditahan,” terang Albertina.