HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenkopUKM) Teten Masduki mengatakan, bahwa akses pembiayaan kredit terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia menjadi yang terendah di Asia.
Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan, karena susahnya akses pembiayaan tentu membuat UMKM sulit berkembang. Padahal berdasarkan data KemenkopUKM, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional pada 2023 menyentuh angka 61 persen.
“Di Asia kita ini baru sekitar 21 persen, bandingkan misalnya China, dan Jepang itu sudah 60 persen, Korea malah di atas 80 persen,” kata Teten dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Rabu (7/2).
Dia menilai, masih rendahnya akses pembaiayaan UMKM itu terjadi lantaran mekanisme pemberian kredit di Indonesia masih menggunakan sistem kolateral, dimana untuk persetujuannya masih membutuhkan jaminan atau agunan.
Sedangkan di satu sisi, hanya sebagian kecil UMKM di Tanah Air yang memiliki kemampuan atau kapabilitas untuk memberikan jaminan saat mengajukan kredit.
Oleh karena itu, Teten menuturkan bahwa pihaknya kini tengah mengembangkan sebuah ekosistem, dimana pihaknya akan mengubah mengubah mekanisme pengajuan pinjaman dengan menggunakan sistem skor kredit (credit scoring).
Adapun nantinya, debitur akan mengukur kemampuan kreditur melalui rekam jejak penjualan dari para kreditur. Sehingga hal ini akan menjadi solusi atas kekhawatiran bank soal non-performing loan (NPL).
Menurutnya, mekanisme pengajuan pinjaman dengan menggunakan credit scoring ini bukan hal yang baru, karena telah digunakan di banyak negara.
“Di 145 negara sudah menerapkan credit scoring, jadi bukan lagi agunan tapi track record digital mengenai kesehatan usahanya. Karena untuk apa ada agunan kalau usahanya macet,” ujarnya.
Ia mengatakan, pelaku usaha di tanah air masih banyak memilih untuk mengajukan pinjaman ke koperasi simpan pinjam, hal ini dikarenakan akses pengajuan pembiayaan ke koperasi lebih mudah dibandingkan dengan bank.
“Koperasi simpan pinjam itu memberi akses kepada 4,29 persen masyarakat Indonesia, sedangkan bank sekitar 4,9 persen. Jadi tidak jauh beda, padahal bank asetnya 100 kali lipat daripada koperasi simpan pinjam,” tandasnya.