HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Bahlil Lahadalia mencium aroma tidak baik di balik munculnya gerakan petisi yang dilakukan sejumlah dosen dan guru besar di beberapa kampus yang dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo.

Ia menilai bahwa ada skenario yang telah dirancang untuk melakukan gerakan tersebut. Hal ini disampaikan mengingat dirinya juga merupakan mantan aktivis yang cukup paham dengan pola-pola kontra narasi dan intelijen seperti itu.

“Ini skenario, ini kita sudah paham sebagai mantan aktivis,” kata Bahlil dalam keterangannya di Jakarta, Senin (5/2) seperti dikutip Holopis.com.

Kemudian, mantan Bendahara Umum PB HMI tersebut juga menilai ada upaya settingan yang dilakukan untuk mengatur sejumlah civitas akademika tersebut. Hal ini karena pernyataan sikap dan petisi dilakukan secara maraton di seluruh Indonesia, dan terlihat sekali bukan gerakan organik.

“Mana ada politik tidak ada yang ngatur-ngatur. Kita tahu lah, ini penciuman saya sebagai mantan Ketua BEM, ngerti betul barang ini,” ujarnya.

Pun demikian, Bahlil yang juga Menteri Investasi Indonesia sekaligus merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut menyampaikan, bahwa Istana tidak terlalu khawatir dengan gerakan masif dan sistematis itu. Apalagi kata Bahlil, Presiden Joko Widodo sangat terbuka dengan kritikan yang membangun.

“Pak Jokowi enggak apa-apa, santai saja,” terangnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid. Ia mengaku sangat menyayangkan adanya gerakan sejumlah guru besar di beberapa kampus di Indonesia yang mendadak ramai-ramai dan bergantian membuat pernyataan sikap untuk mendiskreditkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia menilai ada sesuatu yang tidak beres dari munculnya gerakan tersebut, karena dilakukan justru pasca Mahfud MD mengundurkan diri dan menjelang pencoblosan Pemilu 2024.

“Saya kok melihat pola ini by design ya, seperti ada yang mengarahkan dan memang cenderung partisan,” kata Habib Syakur dalam keterangannya, Sabtu (3/2).

Apalagi kata dia, di beberapa kegiatan pernyataan sikap dan petisi kepada Presiden Jokowi tersebut, berbukti ada sejumlah wajah yang merupakan politisi aktif dari partai politik tertentu.

Jika memang mereka tidak sepakat dengan konstitusi yang memperbolehkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres, menurutnya hal itu bisa mereka upayakan sejak awal, bukan saat pencoblosan sudah tinggal menghitung hari.

Ya kalau mereka tidak sepakat soal aturan itu kan mereka tentang habis-habisan saat awal KPU menetapkan paslon hingga nomor urut, bukan sekarang. Artinya ya terlihat bahwa ini partisan belaka,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti tentang adanya aktivitas sejumlah dosen hukum yang menyoroti soal wacana Presiden boleh berkampanye dan memihak. Menurutnya, hal itu juga aneh ketika dipertentangkan saat ini.

Sebab kata Habib Syakur, Undang-Undang Pemilu secara jelas memperbolehkan bahwa Presiden boleh berkampanye dengan prasyarat yang harus dipenuhi, yakni mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas keamanan.

“Kan UU memperbolehkan. Suka tidak suka kita hormati UU kan. Kalau mau protes ya bukan ke Presiden saat ini, tapi ke DPR, karena mereka yang membuat produk UU itu,” jelasnya.