HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengamat politik sekaligus akademisi dari Universitas Paramadina Jakarta, Sunano menyampaikan bahwa perempuan memiliki literasi politik dan pendidikan politik yang sangat rendah ketimbang laki-laki. Hal itu menurutnya, dikarenakan persoalan gender dan psikologis.
“Hari ini memang saya lihat begini, kalau secara umum dilihat dari literasi politik, pendidikan politik itu memang sangat rendah, apalagi secara psikologis, (karena) persoalan gender di Indonesia hari ini belum selesai, perempuan cenderung bekerja di sektor nonformal atau informal,” kata pria yang karib disapa Nano tersebut dalam podcast Ruang Tamu Holopis Channel yang dikutip pada hari Kamis (25/1) oleh Holopis.com.
Dengan adanya faktor psikologi dan stigma gender itu, Nano menggaris bawahi bahwa keduanya sangat berdampak pada partisipasi perempuan untuk beraktivitas dalam politik, sekaligus kontribusi mereka di dalamnya.
“Nah, ini mempengaruhi partisipasi mereka terhadap beraktivitas di bidang politik khususnya dan kontibusi mereka di politik hari ini,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Nano berharap sistem politik yang ada tidak hanya sekadar memberikan ruang bagi perempuan untuk berkiprah di dalamnya. Namun lebih dari itu, yakni memberikan trigger dan dorongan yang lebih masif agar kaum hawa bisa semakin banyak tertarik melibatkan diri mereka ke dalam sistem politik di Indonesia.
“Saya kira keterlibatan perempuan dalam hal ini penting untuk menjelaskan bahwa banyak sekali persoalan-persoalan yang ada itu persoalan yang punya kaitan dengan persoalan gender, terus persoalan tidak melibatkannya mereka dalam aktivitas politik gitu,” tutur Nano.
Kemudian, Nano juga menuturkan bahwa permasalahan gender dan psikologis tersebut memang cukup kompleks, apalagi berkaitan dengan persoalan persepsi masyarakat Indonesia yang secara masif memiliki kultur menempatkan perempuan bekerja di bidang nonformal dan informal. Stigma tentang perempuan di bidang politik juga masih kurang menggaung.
“Makanya, saya kira ini problem yang cukup kompleks ya persoalan persepsi kita, masyarakat Indonesia secara kultural itu menempatkan perempuan di sektor nonformal dan informal, ini problem kita yang saya kira ketika bicara persoalan partisipasi 30% saja,” terangnya.
Sebagai contoh, kata Nano. Harus adanya pendidikan politik bagi perempuan untuk lebih memahaminya, bukan hanya untuk melengkapi bangku anggota di dalamnya tanpa ada kemampuan yang dimiliki.
“Misalkan keterpenuhan di komposisi legislatif misalkan, itu pun sebagian besar, kadang yang penting ada dulu, ketercukupkan dulu, tidak bicara bahwa kemampuan, kemudian memang dari partisipasi politik yang cukup kuat ada pendidikan politik perempuan yang jelas gitu. Ini yang kemudian jadi banyak masalah,” pungkasnya.