HOLOPIS.COM, JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah dengan tema “Petani-Rakyat Bersatu, Tegakkan Kedaulatan Pangan untuk Indonesia Bebas Impor Beras” di bilangan Cikini Jakarta, pada hari Rabu 17 Januari 2024.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai elemen, mulai dari para petani anggota SPI hingga organisasi petani, nelayan, buruh, mahasiswa, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Umum SPI, Henry Saragih menyebut di Indonesia berada dalam situasi memilukan karena semakin mengalami ketergantungan pangan.
“Kita bisa melihat ketergantungan pangan pokok semakin hari semakin tinggi. Untuk beras, impor sebesar 3,3 juta ton pada tahun 2023 merupakan impor beras terbesar yang dilakukan pemerintah, dalam 25 tahun terakhir sejak tahun 1998,” kata Henry yang mengikuti kegiatan secara daring seperti dikutip Holopis.com.
Henry juga menyebut bahwa derasnya arus impor pangan di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1998. Ditandatanganinya LoI dengan IMF mendorong Indonesia untuk membuka pasar pangan dari luar negeri, seperti beras, tepung gandum, gula, bawang putih, hingga daging sapi, dan tanaman pangan lainnya.
“Terkini, semangat impor pangan justru dikuatkan dengan lahirnya UU Cipta Kerja. Undang-undang ini menganulir berbagai UU yang sebelumnya berpihak pada petani. Jika kondisi ini (impor pangan) terus terjadi, hal ini semakin membuat bangkrut kaum tani di Indonesia,” ujarnya.
Pada sesi diskusi, terdapat 5 (lima) narasumber yang membahas bagaimana impor beras yang direncanakan pemerintah dari berbagai perspektif. Prof. Dwi Andreas, selaku akademisi dari IPB dan juga Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menyampaikan bahwa rencana impor yang diusulkan oleh pemerintah adalah suatu hal yang janggal.
“Impor beras 2024 tidak ada dasarnya sama sekali. Pemerintah berdalih bahwa situasi tidak normal akibat adanya fenomena el nino. Ini terus digaung-gaungkan oleh pemerintah, padahal menurut data iklim pada tahun 2024 akan normal kembali,” ujar Dwi Andreas.
Sementara itu, Muhammad Rifai dari Aliansi Petani Indonesia (API) selaku narasumber kedua, menyinggung perihal isu impor pangan yang berdekatan dengan momen-momen politik, sehingga wajar jika menimbulkan kecurigaan publik.
“Isu ini adalah isu yang biasanya muncul pada momen politik, kalau saat ini konteksnya saat menjelang Pemilu 2024. Bagaimana kondisinya di masyarakat? Apakah benar-benar perlu impor karena ketidaktersediaan pangan? Nyatanya juga yang terjadi adalah petani merasa kesulitan karena kenaikan harga pada proses produksi, padahal barang banyak beredar di pasar,” kata Rifai.
Lantas, Said Abdullah yang merupakan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dalam diskusi tersebut pun menyebutkan, bahwa rencana impor beras tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
Baca selengkapnya di halaman kedua.