HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta mengatakan bahwa untuk seseorang bisa menjadi teroris bukan perkara mudah. Ada banyak tahapan yang dilalui sehingga ia benar-benar bisa yakin terlibat di dalam gerakan terorisme.
“Untuk menjadi teroris memang tidak dalam sekejap. Peneliti Fathali M. Moghaddam menyebut ada 6 tahap menjadi teroris yang disebut dengan staircase to terrorism,” kata Stanislaus kepada Holopis.com, Selasa (19/12).
Keenam tahapan tersebut antara lain ; Pertama, individu akan mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan yang tidak adil; Kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan yang dianggap sebagai musuh; Ketiga, individu mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya.
Pada tangga keempat, setelah seseorang memasuki organisasi teroris, dan hanya ada kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Tangga kelima seseorang menjadi siap dan termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme. Pada tangga keenam atau yang terakhir adalah tangga di mana seseorang sudah berada pada puncak keyakinan untuk melakukan aksi teror.
Stanislaus menjelaskan bahwa idealnya, seseorang yang menjadi teroris harus melewati 6 tahapan itu jika merujuk pada penelitian yang ada. Hanya saja dengan berkembangnya teknologi informasi seperti saat ini, semua tangga bisa dilalui dengan cara yang sangat instan.
“Dengan adanya media sosial banyak muncul teroris yang proses pembentukannya menjadi sangat cepat, bahkan tanpa interaksi dengan kelompok, saya menyebut hal ini menjadi shortcut to terrorism,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dosen Kajian Ketahanan Nasional di Universitas Indonesia tersebut mengingatkan bahwa perlu ada antisipasi dari semua pihak agar tahapan-tahapan ini tidak menyasar ke anak-anak muda Indonesia. Salah satunya adalah meningkatkan deteksi dini dari lingkungan keluarga.
“Untuk mencegahnya maka peran keluarga menjadi penting, pastikan orang terdekatnya tidak terpapar paham radikal, yang bisa diketahui dari sikap, atau pernyataannya terutama jika sudah menolak perbedaan dan mau melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan,” terangnya.
Dengan demikian, keluarga harus sesegera mungkin mengambil tindakan. Jika tidak bisa menangani sendiri, maka libatkan aparat keamanan terkait agar bisa dilakukan penanganan secara dini.
“Maka keluarga harus segera melaporkan ke aparat terdekat untuk penanganan selanjutnya,” sambungnya.
Di sisi lain, Stanislaus juga mengingatkan bahwa jaringan terorisme masih tetap eksis di Indonesia sampai dengan saat ini, sekalipun mereka belum tampak memperlihatkan aktivitasnya sebagai seorang teroris.
“Sel tidur tetap ada, untuk kelompok teror aktifitasnya terpantau oleh Densus 88, sehingga jika mereka berencana melakukan aksi upaya pencegahan bisa dengan cepat dilakukan,” pungkas Stanislaus.