HOLOPIS.COM, JAKARTA – Mahfud MD menganggap gelar sarjana belum menjamin seseorang untuk menjadi seorang yang intelektual.
Hal itu disampaikan Mahfud MD pada saat memberikan orasi ilmiah di Wisuda periode ke-133 Universitas Negeri Padang (UNP), Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar).
“Sarjana itu belum tentu intelektual. Dulu Bung Hatta tokoh dari sini yang sangat terkenal, pernah berbicara tentang tanggung jawab kaum intelejensia, di mana di situ mengatakan sarjana itu belum tentu intelek,” kata Mahfud MD dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Senin (18/12).
Menurut mantan hakim konstitusi tersebut, sarjana hanya memiliki keahlian formal, sedangkan intelektualitas itu adalah kemuliaan moral.
Dengan keahlian sarjana, bisa digunakan sebagai pedoman keahlian teknis di bidangnya masing-masing. Namun tidak jarang, kesarjanaan itu bisa digunakan sebagai alat menipu.
“Misalnya saya yang orang hukum, maka banyak profesor hukum, doktor, pengacara, hakim, dan jaksa masuk penjara karena apa, karena dia menggunakan pasal-pasal dengan keahliannya untuk menipu orang,” tukasnya.
“Jadi pasal-pasal hukum itu bisa diperjualbelikan berapa Anda mau. Tapi kalau Anda menjadi seorang intelektual, maka yang bertumpu di hati ini adalah moral,” sambungnya.
Calon wakil presiden nomor urut 3 itu kemudian mengungkapkan sebuah fakta ketika ternyata 84 persen koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi.
“Sehingga apa yang terjadi? Misalnya saudara jangan kaget bila saya katakan lagi, jumlah koruptor di Indonesia itu 84 persen adalah lulusan perguruan tinggi, ini menurut data KPK. Tapi jangan dibalik, 84 lulusan perguruan tinggi itu koruptor, enggak,” ucapnya.
Namun, Mahfud kemudian menyambung perkataannya bahwa tidak semua lulusan perguruan tinggi bisa dicap sebagai calon koruptor. Sebab dari lulusan perguruan tinggi sebanyak sekitar 17,6 juta, hanya 900 orang yang menjadi koruptor.
“Artinya perguruan tinggi itu masih baik. Bahwa ingin saya katakan bahwa koruptor itu 84 persen lulusan perguruan tinggi. artinya apa? itu tadi, hanya mungkin pintar otaknya, tapi tumpul wataknya. Coba yang di penjara-penjara itu apa? Profesor, doktor, banyak, pengacara, hakim, jaksa, masuk di situ karena korupsi, pemerasan, dan sebagainya. Di situ dia punya intelektualitas yang tidak seimbang karena yang ada pada dia hanya kecerdasan otaknya, bukan kemuliaan wataknya,” terangnya.