HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR RI telah menyepakati Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 Hijriah/2024 Masehi sebesar Rp93.410.236 per jemaah.
Dari jumlah BPIH tersebut, proporsi Biaya Perjalanan Haji (Bipih) yang ditanggung oleh jemaah disepakati sebesar 60 persen atau Rp56.046.172. Sedangkan 40 persen sisanya atau Rp37.364.114 diambil dari penggunaan nilai manfaat.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Zainut Tauhid Sa’adi menilai, besaran BPIH yang telah disepakati tersebut sudah cukup propoporsional.
“Artinya, Bipih atau beban biaya yang harus ditanggung oleh jemaah haji dengan subsidi dari nilai manfaat cukup berimbang,” katanya dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Selasa (28/11).
Menurut Zainut, skema BPIH harus memperhatikan dua aspek, yaitu keadilan dan keberlanjutan. Dimana komposisi Bipih yang ditanggung jemaah dan penggunaan nilai manfaat harus dihitung secara proporsional dan berkeadilan.
Hal ini, lanjutnya, dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantri keberangkatan, tidak tergerus habis.
“Kita semua mesti tahu bahwa nilai manfaat itu bukan hanya milik jemaah yang tahun ini berangkat, tapi hak seluruh jemaah yang telah membayar setoran awal dan mereka masih menunggu antrian berangkat hingga 40 tahun,” tutur Zainut.
Dikatakan olehnya, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Bahkan di tahun 2022, penggunaan nilai manfaat dari dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sempat mencapai 59 persen.
Kondisi tersebut, kata dia, terjadi karena pemerintah Arab Saudi kala itu menaikkan layanan biaya masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji tahun 1443 H/2022 M, di saat jemaah haji sudah melakukan pelunasan Bipih.
Berangkat dari hal tersebut, Zainut mendorong agar nilai manfaat digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan. Terlebih, MUI menilai kinerja BPKH sebagai pengelola dana haji belum menunjukkan hasil yang optimal, sehingga belum dapat menghasilkan nilai manfaat yang ideal.
Apabila pengelolaan BPKH tidak kunjung optimal, serta komposisi Bipih dan nilai manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan terus tergerus dan tidak menutup kemungkinan akan habis pada tahun 2027.
“Sehingga jemaah haji tahun 2028 harus membayar full 100%. Padahal mereka juga berhak atas nilai manfaat dari simpanan setoran awalnya yang sudah lebih 10 tahun.” tegasnya.
Masih kata Zainut, naiknya jumlah Bipih yang harus dibayar oleh jemaah haji tersebut, sudah seyogianya jemaah memperoleh keuntungan lebih, baik dari sisi pelayanan maupun perlindungan.
“MUI meminta kepada Kemenag untuk lebih meningkatkan pelayanan dan perlindungannya kepada jemaah haji Indonesia, agar mereka bisa melaksanakan ibadah haji dengan aman, nyaman dan menjadi haji yang mabrur,” pungkasnya.