HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menyampaikan bahwa ada dilema yang cukup besar mempengaruhi Pemilu 2024. Dimana pemilih muda memang tinggi karena mendominasi total Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Sayangnya, angka potensi golput juga masih sangat tinggi, bahkan di kalangan anak muda sendiri, baik itu generasi Z maupun generasi milenial.

“Selain berkaitan dengan pilihan anak muda di kontestasi pilpres 2024, mereka punya kecenderungan lain, sebagian besar mereka ternyata tidak signifikan. Ada generasi muda yang sampai hari ini belum menentukan pilihan,” kata Dedi dalam keterangannya, Kamis (23/11) seperti dikutip Holopis.com.

Golput yang dimaksud Dedi bukan karena mereka tidak mau memilih karena faktor ideologis, akan tetapi faktor administrasi alias situasional.

“Tapi golput bukan karena ideologis. Golput idealis atau ideologis adalah kesadaran untuk tidak memilih karena faktor kontestan yang tidak memberikan alternatif visi misi untuk pembangunan arah depan,” jelasnya.

“Sementara golput administratif itu karena mereka tidak yakin saat hari pemungutan suara apakah mereka ada di rumah atau tidak, atau ada di domisilinya atau tidak, ini banyak dari kalangan mahasiswa,” sambungnya.

Apalagi jika melihat data survei IPO yang dirilis pada hari Senin, 20 November 2023 lalu, terdapat 11.6% anak muda yang belum menentukan jawabannya. Mereka bukan karena tak mau memilih, akan tetapi ragu apakah bisa memberikan hak suaranya atau tidak di hari H nanti.

Maka dengan demikian, potret semacam ini harus ditangkap dengan cermat oleh semua komponen khususnya penyelenggara pemilu, bagaimana suara anak muda yang berpotensi golput administrasi ini bisa diakomodir dengan baik agar mereka dipastikan bisa ikut mencoblos di hari pelaksanaan pemungutan suara 14 Februari 2024 mendatang.

“Meskipun angka keterpilihan anak muda pada Prabowo tinggi, sayangnya ini akan dibayang-bayangi angka golput yang tinggi juga. Misal keinginan anak muda untuk memilih lalu mereka tidak terealisasi, kan jadi masalah. Mereka tinggi persentase keinginan untuk memilih tapi rendahnya persentase dalam implementasi,” tukasnya.

Langkah yang paling tepat adalah, KPU sebagai penyelenggara pemilu bisa mengedukasi dengan baik dan merata kepada generasi muda untuk bisa ke KPU menyalurkan hak suaranya.

“Mohon pemerintah menangkap situasi itu dengan menghadirkan TPS di kantong-kantong suara anak muda,” pungkasnya.