HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Indonesia Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menuturkan bahwa terdapat aktor di balik munculnya isu polarisasi, hoaks, dan misinformasi lainnya di tahun-tahun Pemilu. Menurutnya, hoaks telah menjadi sebuah industri dengan tujuan mempopulerkan seseorang.
“Hoaks adalah industri citra, yang bertujuan untuk membangun profil seseorang,” kata Dedi dalam diskusi bertajuk ‘Polarisasi SARA, Hate Speech & Serangan Hoax Bisa Terulang? Mampukah Elit dan Akar Rumput Bikin Happy Ending Pemilu 2024’ di Kopi Oey Melawai, Jakarta Selatan, Jumat (17/11) seperti dikutip Holopis.com.
Dedi lantas mengaku pesimis bahwa isu tersebut akan hilang di Pemilu 2024. Justru ia menilai, bahwa isu-isu demikian akan terus ada karena telah memiliki target market tersendiri. Selain itu juga, adanya faktor rendahnya daya filterisasi informasi di masyarakat.
“Di (Pemilu) 2024 kita tak bisa menghindari mis-informasi, hoaks, black campaign, itu akan tetap muncul karena ada target market, sepanjang masyarakat tak bisa memfilternya,” ujarnya.
Satu-satunya jalan, menurut Dedi adalah penegakkan hukum yang tegas. Sebab, adanya penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu akan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya dalam mereduksi aktivitas kampanye negatif tersebut.
“Kita mau seribu kali diskusikan ini, itu sia-sia. Mau tak mau harus ada kepastian, yakni menegakkan hukum,” tandasnya.
Sementara itu, praktisi dan pengamat media sosial dari Cyber Indonesia Farhana Nabila Hanifah menegaskan, bahwa Indonesia termasuk negara terendah dalam hal isu polarisasi dan hate speech, dalam menghadapi tahun politik 2024.
“Sebenarnya memang polarisasi hate speech sering digulirkan menuju pemilu 2024, cuma kita tahu baru tahun lalu, ada lembaga yang melakukan barometer mengeluarkan survei, bahwa dari 28 negara, Indonesia jadi negara terendah termakan polarisasi di dunia, lebih rendah dari Singapura, China, Malaysia,” kata Farhana.
Melansir DataIndonesia.id, dalam laporan Edelman Trust Barometer, dijelaskan bahwa Indonesia termasuk negara yang cenderung tidak terpolarisasi atau terpecah belah dalam isu-isu sosial. Hal itu terlihat dari skor polarisasi Indonesia yang sebesar 55 poin pada 2022.
Lebih lanjut, Farhana Nabila kemudian menjelaskan sebab mengapa isu polarisasi muncul ke permukaan dan jadi sorotan. Menurutnya, ada pengaruh dari orang-orang di balik akun media sosial yang memproduksinya.
“Menurut survei nggak terlalu parah, tapi di media sosial kan bisa saja digoreng-goreng, jadi kelihatan parah,” paparnya.
Sepanjang pengalamannya sebagai pemerhati media sosial, Farhana menilai masyarakat saat ini lebih cerdas. Masyarakat, kata Farhana, bisa memilah informasi yang hoaks dan tidak.
“Sebenarnya pengalaman 2019, saya sebagai pemerhati menilai masyarakat mulai pintar di 2022, 2023 masyarakat mulai pintar (menilai) ini hoaks, hate speech, tapi kita tak tahu ke depan 2024. Mungkin masyarakat bisa lebih cerdas,” tandasnya.