Rabu, 25 Desember 2024
Marry Christmas 2024

Hindari Polarisasi, SARA, dan Hatespeech di Pemilu 2024, Masyarakat Lebih Cerdas Pilih Informasi

HOLOPIS.COM, JAKARTA – Tantangan hoaks dan ujaran kebencian yang berpotensi memicu polarisasi di antara warga Indonesia masih menjadi isu krusial menjelang Pemilihan Umum 2024. Kejadian ini terutama dipicu oleh kurangnya kemampuan masyarakat dalam memilah informasi dengan mandiri.

Perhatian terhadap masalah ini disuarakan oleh berbagai kalangan, termasuk aktivis, pengamat, dan praktisi media sosial, yang terlibat dalam diskusi berjudul “Polarisasi SARA, Hatespeech, Serangan Hoaks Bisa Terulang: Mampukah Elit dan Akar Rumput Bikin Happy Ending Pemilu 2024?” yang digelar di Kopi Oey Melawai, Komplek Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Jumat (17/11).

Dalam eksposenya, Dedi Kurnia Syah Putra yang merupakan seorang pengamat politik dan direktur eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), menyoroti kesulitan dalam menghindari penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, khususnya di ranah media sosial. Hal ini dikarenakan materi negatif tersebut seringkali diproduksi secara profesional oleh pihak tertentu.

“Dalam kampanye itu membuat timses termasuk simpatisan akan terbawa untuk membangun opini-opini yang jelas tidak benar tapi punya daya rusak luar biasa pada kandidat (lawan politik -red),” kata Dedi seperti dikutip Holopis.com.

Tujuan adalah menurunkan popularitas lawan. Para pelaku politik berharap dapat meningkatkan peluang kemenangan kandidat atau partai yang mereka dukung. Rendahnya elektabilitas lawan politik diharapkan dapat memberikan keuntungan kompetitif yang signifikan.

“Kita tidak bisa menghindari hoaks dan black campaign, karena memang ada tabel marketnya. Sepanjang masyarakat tidak bisa dimandirikan menyerap informasi maka selama itu hoaks dan disinformasi akan muncul,” ujarnya.

Pada era Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, Dedi Kurnia Syah Putra mengamati bahwa fenomena hoaks mengalami peningkatan yang signifikan, terutama karena tingkat literasi digital yang masih rendah di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam periode tersebut, terjadi pelebaran kesenjangan dan perpecahan di antara masyarakat. Keadaan semakin kompleks dengan adanya produsen hoaks yang menjalankan kegiatan mereka secara profesional, mampu memanipulasi opini dan emosi penerima informasi.

“Sebab hoaks dan disinformasi itu bukan muncul alamiah tapi memang sengajar diproduksi,” kata Dedi.

Farhana Nabila Hanifah, seorang pegiat sosial media dari Cyber Indonesia, sejalan dengan pandangan Dedi Kurnia Syah Putra, juga melihat bahwa fenomena hoaks pada tahun 2024 masih akan terbuka lebar untuk disebarluaskan. Meskipun demikian, ia mengamati bahwa perkembangan yang terjadi saat ini menunjukkan kecenderungan bahwa dampak hoaks tidak begitu signifikan terhadap kehidupan politik, terutama di kalangan kaum muda Indonesia.

“Pengalaman 2019 lalu, saya sebagai pengguna sosmed dan pemerhati melihat bahwa 2023 saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai pinter memilah mana isu haoks, polarisasi dan sebagainya,” kata Nabila.

“Apakah nggak (penyebarannya) separah yang lalu belum tentu, karena 2024 kan belum terjadi, tapi saat ini saya bilang masyarakat Indonesia lebih cukup cerdas,” tambahnya.

Namun, ia optimis jika Pemilu 2024 nanti akan berakhir dengan gembira. “Kita masih optimis 2024 kita happy ending. Apalagi kalau mendengar survei bang Dedi tadi kenapa generasi milenial lebih suka dan memilih Gerindra karena sejauh ini kita kenal Gerindra mampu menunjukkan bahwa mereka sangat menyenangkan dan menggembirakan. Artinya politik kita saat ini menggembirakan. Bahkan kalau di media sosial admin yang paling kocak itu Partai Gerindra,” lanjutnya.

Baca selengkapnya di halaman kedua.

Temukan kami di Google News, dan jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.

Berita Lainnya

Presiden Republik Indonesia

BERITA TERBARU

Viral