HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengelolaan sampah plastik wajib dilakukan. Sebab, sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik akan sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Guru Besar Fakultas Teknik (FT) Universitas Indonesia, Muhammad Chalid menuturkan, penyumbang sampah terbesar adalah produk yang mengandung kemasan. Sehingga, mesti dicari solusi agar sampah yang ada bisa bermanfaat.
“Diperlukan pengelolaan produk daur ulang memerlukan sampah plastik yang berkualitas,” kata Chalid dalam agenda Grenpress Community, Kamis (9/11) yang dikutip Holopis.com.
Meski tak semua plastik bisa didaur ulang, Chalid menyebut bahwa semua sampah plastik itu punya nilai keekonomian yang tinggi.
“Jadi harus kita olah dengan baik. Sehingga mesti ada regulasi dan pemanfaatan tepat untuk mengatur sampah agar bisa menghasilkan manfaat yang tepat,” papar pria bergelar profesor ini.
Sayangnya, Indonesia belum mampu mengelola sampah plastik menjadi produk yang memiliki nilai keekonomian. Menurutnya, penumpukan sampah plastik disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang belum terlepas dari pola penggunaan kemasan.
“Kita perlu mengubah cara pandang atau paradigma konsumen dengan beralih ke kemasan plastik. Artinya sampah plastik harus didaur-ulang,” ujar Chalid.
Ia mengatakan bahwa untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan solusi yang integratif dan berkelanjutan. Keterlibatan aspek ekonomi menjadi unsur kunci keberlanjutan pengembalian sampah plastik pada siklus materialnya, yang dikenal sebagai prinsip ekonomi sirkular.
Di negara maju, kata Chalid, mereka menganggap plastik bagian dari hidup mereka. Contoh sederhana di Singapura yang banyak melakukan pengelolaan daur ulang sampah dengan insenerasi sehingga bisa dijual lagi.
“Kalau ekonomi sirkular itu berkembang, maka orang melihat plastik itu bukan sampah lagi, tapi merupakan komoditas karena punya nilai keuangannya,” ucap dia.
Dia mengingatkan, diperlukan multisektor banyak pihak untuk menyelesaikan persoalan klasik ini. “Perlu dibangun maindset. Kami berikan perspektif memberikan informasi dari sisi keilmuan,” ungkap Chalid.
Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan jaminan regulasi yang berlangsung dengan baik. Lalu, produsen memproduksi barang dengan penggunaan sekecil mungkin bahan baku plastik bisa dilakukan.
“Seperti memiih dan membuat produk yang mudah didaur ulang dan bahan baku yang berpotensi mencemari lingkungan. Contohnya produk tak memakai pewarna agar potensi pencemaran menjadi lebih kecil,” tutur Chalid yang juga Kepala Center for Sustainability and Waste Management Universitas Indonesia ini.
Hingga kemudian setelah pasca konsumsi, masyarakat konsumen bisa mengelola sampahnya. “Masyarakat harus dibangun perilakunya, mengubah sikap. Belilah produk kalau memang kita perlu, bukan karena hanya keinginan. Sehingga ada pembatasan dalam pemakaian produk,” tutup Chalid.