HOLOPIS.COM, JAKARTA – Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Base Transceiver (BTS) 4G Kominfo Galumbang Menak Simanjuntak menyebut membangun di Papua tidak hanya dengan keahlian, tetapi dengan air mata.
Hal itu diungkapkan Galumbang dalam pembacaan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, (6/11). Galumbang merasa terkejut lantaran jaksa dalam persidangan menganggap kondisi kemananan di Papua yang mengancam korban jiwa tidak dapat dimasukkan sebagai peristiwa force majeure dan menganggap hal biasa yang dapat diantisipasi.
“Kondisi keamanan bukanlah hal yang biasa, orang ditembaki dan digorok bukanlah hal biasa seperti halnya bencana gunung berapi atau banjir yang bisa di antisipasi,” ungkap Galumbang, seperti dikutip Holopis.com.
Ditekankan Galumbang, negara seharusnya bertanggung jawab dan hadir dalam menjamin keamanan di saat pihaknya yang juga rakyat Indonesia berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan di Papua, bukan malah diputarbalikkan menjadi suatu keadaan yang biasa-biasa saja. Jika kondisi keamanan itu dinilai hal yang biasa saja, Galumbang khawatir orang-orang atau perusahaan-perusahaan menjadi enggan membangun di Papua.
“Saya khawatir jika hal ini dibenarkan maka orang-orang atau perusahaan-perusahaan menjadi enggan membangun di Papua karena dibunuh, digorok, ditembaki, diculik dan diintimidasi dikategorikan sebagai hal yang biasa-biasa saja dan resiko ini hanya di timpakan kepada rakyat,” kata Galumbang.
Dalam pledoinya, Galumbang merasa keberatan atas tuntutan 15 tahun penjara dari Jaksa Penuntut Umum. Pasalnya, kata Galumbang, dirinya tidak menikmati hasil korupsi. Apalagi, sambung Galumbang, jaksa dalam surat tuntutan menyebut dirinya tidak menikmati hasil korupsi.
“Sampai hari ini saya tidak menerima apa yang dituduhkan. Hal ini juga diamini JPU dalam tuntutannya bahwa saya tidak menikmati hasil korupsi proyek BTS 4G,” tutur Galumbang.
Galumbang juga mempertanyakan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Galumbang merasa aneh dengan penerapan pasal ini lantaran dirinya tidak menikmati hasil korupsi seperti yang disampaikan jaksa dalam tuntutan.
“Sehingga teranglah fakta di persidangan dimana saya kutip pernyataan saksi ahli Bapak Jamin Ginting bahwa “TPPU itu khan ada uangnya dulu Pak baru disembunyikan, kalau Bapak enggak punya uang apa yang mau Bapak sembunyikan” di mana saya sangat jelas, tidak pernah menerima uang korupsi dari Proyek BTS 4G BAKTI ini namun tetap didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” kata Mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia ini.
Selain itu, Galumbang juga keberatan dan heran atas penyitaan aset yang dilakukan penyidik. Sebab sejumlah aset yang disita diperoleh sebelum pengadaan proyek BTS 4G. Galumbang juga memastikan aset yang disita itu diperolehnya secara sah. Bahkan, sambung Galumbang, aset-aset itu juga telah diikutsertakan dalam tax amnesty pertama pada tahun 2016 dan tax amnesty pada kedua tahun 2021.
“Beberapa aset masuk dalam laporan pajak pribadi saya sejak lama. Namun disita oleh penyidik,” tegas Galumbang.
Dalam pembelaannya, Galumbang menampik kesaksian dari Direksi PT Aplikanusa Lintasastra, Arya Damar dan Alfi Asman yang menuduh dirinya menerima fee sebesar 10 persen saat dilakukan rapat direksi. Pasalnya dalam fakta persidangan yang menghadirkan Direktur PT Aplikanusa Lintasastra Bramudija Hadinoto ditemukan beberapa fakta. Salah satunya, tidak pernah diadakan rapat untuk membahas fee sebagaimakan disampaikan Arya Damar dan Alfi Asman.
“Sehingga bertentanganlah keterangan Saudara Saksi Alfi Asman yang menyatakan komitmen fee tersebut telah dibahas di rapat Direksi,” ujar Galumbang.
Sementara terkait uang yang diserahkan kepada terdakwa Irwan Hermawan melalui beberapa perusahaan, kata dia, bukan untuk dirinya, tetapi untuk kepentingan BAKTI.
“Saya menduga keras uang yang mereka serahkan itu adalah untuk menutupi kesalahan mereka,” ujar Galumbang.
Merujuk fakta persidangan terungkap jumlah uang yang serahkan dengan menciptakan PO fiktif sebanyak 4 kali tidak cocok dengan komitmen fee sebesar 10 persen yang dituduhkan. Pasalnya, pada fakta persidangan yang disampaikan Alfi Asman, Arya Damar, saksi lain dan terdakwa Irwan Hermawan dan terdakwa Windy Purnama, PT Aplikanusa Lintasarta hanya mengeluarkan sekitar Rp 60 miliar.
“Sementara bila merujuk komitmen fee 10 persen seharusnya adalah Rp 240 Miliar. Jadi dapat dilihat dengan jelas tuduhan komitmen fee 10 persen hanyalah karangan belaka yang mungkin saja bertujuan untuk menutupi perbuatan yang mereka lakukan, yang pada akhirnya memberatkan saya di dalam perkara ini,” kata Galumbang.
Sementara itu, Kuasa Hukum Galumbang, Maqdir Ismail mengatakan, penerapan pasal pencucian uang terpenuhi jika seseorang sudah menerima sejumlah uang dan dipergunakan.
“Kalau tidak pernah menerima, apa yang dicuci ?,” ucap Maqdir.
Terkait tudingan terjadinya dugaan korupsi dalam proyek BTS 4G Kominfo, kata Maqdir, seharusnya diselesaikan dahulu pada ranah administratif. Sebab, proyek tersebut masih berjalan.
“Karena mereka telah berniat baik untuk menyelesaikam persoalan ini. Padahal kerugian negara tidak ada,” tuturnya.
Maqdir heran justru yang dikejar adalah penyelesaian pidananya. Atas dasar itu, sebut Maqdir, Galumbang Menak seharusnya dapat dibebaskan dari segala tuduhan jaksa.
“Jadi, harusnya dibebaskan. Karena konsunsursiom rugi. Plus cara penghitungan BPKP juga keliru. Jaksa tidak bisa membuktikan apa pun,” tegas Maqdir.