Pun demikian, ia menilai kerawanan sosial ini bisa diminimalisir lagi jika ada dua langkah yang dilakukan. Langkah pertama adalah untuk aparat dan penyelenggara pemilu, ia meminta agar dua entitas itu dipastikan tegas dan berintegritas terhadap penanganan semua tindak pelanggaran pemilu yang ada.
“Kita kawal supaya netral. KPU harus membuka kanal khusus untuk menerima aduan, kalau ada pihak yang tidak netral agar bisa diproses, siapa pun yang melanggar harus diproses dengan tegas,” tuturnya.
Selain penyelenggara pemilu, aparat baik TNI dan Polri harus benar-benar bisa berlaku netral dari semua lapisan, baik pimpinan tertinggi hingga satuan terbawah.
Langkah kedua adalah Presiden Joko Widodo mengumpulkan semua ketua umum partai politik yang ada dan mendeklarasikan bahwa mereka sepakat untuk melaksanakan pemilu damai, mendukung proses politik yang baik demi pelaksanaan proses demokrasi yang sesuai dengan harapan. Kemudian, siapa pun yang terpilih akan didukung sebagai pemimpin yang sah menurut konstitusi.
“Saya kira itu menjadi salah satu strategi yang bagus. Masalahnya itu tidak mungkin, susah. Bukan tidak mungkin ya, tapi sulit,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Stanislaus Riyanta yang merupakan alumni Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) tersebut menegaskan bahwa alasan lain mengapa dirinya menyebut Pemilu 2024 akan lebih berat dari Pemilu 2019 adalah, terbelahnya kelompok nasional.
“Kelompok nasionalis pecah, tahun kemarin (2019 -red) kelompok nasionalis jadi satu, yang diuntungkan adalah kelompok ideologis agamis yang mengerucut jadi satu dan tidak ada goncangan di mereka, mereka lebih solid,” tegasnya.