HOLOPIS.COM, JAKARTA – Koordinator Forum Pemuda Mahasiswa Hukum Indonesia, Gurun Arisastra turut angkat bicara atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan batas usia capres cawapres yang diajukan oleh Mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru.

Dimana di dalam gugatan tersebut, MK mengabulkan satu dari petitum yang diajukan oleh pemohon, yakni meloloskan calon presiden maupun calon wakil Presiden bisa merupakan kepala daerah atau orang yang pernah menjadi kepala daerah hasil dari pemilihan umum kepala daerah. Sementara untuk penurunan batas usia minimal 40 tahun tidak dibatalkan.

Ia menyatakan bahwa terkait dengan putusan yang diketok palu oleh ketua MK, Anwar Usman, Gurun mengatakan jika pihaknya sangat menghormati. Sebab, itu sudah menjadi norma hukum yang ada.

“Kita hormati putusan,” kata Gurun dalam keterangannya kepada Holopis.com, Kamis (18/10).

Pun demikian, ia tetap menaruh kekecewaan terhadap apa yang dilakukan oleh MK tersebut. Sebab, keputusan yang diambil cenderung bisa mengarah kepada konstruksi reformasi yang sudah berjalan saat ini.

“Sayangkan, karena putusan MK berpotensi mencederai demokrasi dengan mematikan cita-cita reformasi,” ujarnya.

Dirinya menilai, bahwa putusan MK terkait batas usia capres atau cawapres tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang Gibran Rakabuming Raka yang notabane adalah putra Presiden Joko Widodo yang akan diusulkan sebagai bacawapres di Pilpres 2024.

“Kan fakta hukum dan fakta sosialnya ditujukan pada Gibran, tentu ini menjadi masalah yang seharusnya MK konsisten tidak mengabulkan putusan batas usia itu, di sisi lain ada kejanggalan-kejanggalan dalam proses lahirnya putusan,” terangnya.

Lebih lanjut Gurun menilai Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir setelah reformasi seharusnya mengedepankan cita-cita reformasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

“Jika nanti pada akhirnya Gibran menjadi cawapres salah satu Paslon dalam pemilu, lahirnya putusan MK memang secara konstitusi punya hak untuk maju, namun secara demokrasi ini adalah malapetaka karena mengalami kemunduran demokrasi,” terangnya.

Lebih lanjut, Gurun juga mengatakan bahwa ada banyak lembaga yang lahir setelah reformasi. Salah satunya adalah lembaga Mahkamah Konstitusi yang lahir dari produk reformasi untuk menjaga demokrasi agar tidak otoritarianisme dan munculnya nepotisme dalam kekuasaan negara.

“Kita semua tahu, reformasi kita diperjuangkan dengan berdarah-darah, reformasi muncul dengan tujuan untuk melawan adanya masa kekuasaan yang panjang dan perlawanan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme orde baru,” tandasnya.

“Reformasi mengamanden UUD 1945 dan melahirkan banyak lembaga, salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi, lahirnya lembaga ini untuk menjaga arah bangsa agar tidak mengalami masa kekuasaan yang panjang dan menjaga demokrasi sesuai cita-cita reformasi. Demokrasi yang sesuai dengan cita-cita reformasi yakni menghindari terjadinya nepotisme (mengedepankan hubungan kekerabatan atau keluarga) dalam kekuasaan negara,” pungkas Gurun.