HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pengamat politik, Fernando eMas menilai bahwa politik identitas itu sah-sah saja dilakukan dalam rangka mendulang dukungan politik elektoral di pemilihan umum.

“Ketika capres itu ingin menang harus berasal dari kelompok mayoritas, misal suku jawa. Lalu untuk memperkuat kemenangan, orang-orang dari suku Jawa mau diakomodir, ya menurut saya nggak apa-apa,” kata Fernando kepada Holopis.com, Jumat (13/10).

Begitu juga ketika dalam pemilu Jawa Barat atau daerah lain, kandidatnya menggunakan basis suku, agama dan golongan sebagai pendongkrak suara. Mereka akan mengajak sesama suku, sesama agama dan sesama golongan untuk memilihnya.

Jika sejauh konteksnya itu, Fernando menganggap hal itu masih sah-sah saja dilakukan.

“Kalau masih sekadar angkat isu suku ini itu, ya nggak apa-apa. Kalau hal itu yang dimainkan menurut saya tidak terlalu berbahaya,” ujarnya.

Yang menjadi persoalan adalah ketika penggalangan suara elektoral itu dilakukan dengan menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian kepada lawan politik menggunaka isu-isu primordial itu.

“Yang penting jangan hoaks dan ujaran kebencian, karena itu yang berbahaya. Jadi jelas, yang berbahaya itu hoaks dan ujaran kebencian, yang perlu disikapi dan diantisipasi oleh negara kita agar tetap aman damai,” tutur Fernando.

Direktur Rumah Politik Indonesia tersebut menekankan bahwa pemilu sejatinya adalah kesempatan para kandidat untuk mengunggulkan ide, gagasan dan program yang ditawarkan untuk dijalankan ketika sukses terpilih nanti.

“Karena penilu harusnya beradu argumen, program dan gagasan tanpa harus membuat sesama bermusuhan dan antarkita bertikai,” tandasnya.

Oleh sebab itu, Fernando pun berpesan kepada semua pihak untuk menggadaikan persatuan dan kesatuan hanya untuk memenuhi hasrat politik lima tahunan.

“Pemilu itu hanya 5 tahunan dan jangan kita rusak dengan hoaks dan ujaran kebencian, karena daya rusaknya tidak hanya 5 tahun tapi bisa bertahun-tahun,” tegas Fernando.

Indonesia Negara Beradab

Lebih lanjut, Fernando juga mengajak semua masyarakat Indonesia untuk mengedepankan akhlak dan adab demi menjunjung tinggi budaya ketimuran.

“Kita kan negara yang beradab, seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai yang seharusnya membuktikan bahwa kita ini adalah negara beradab,” tutur Fernando.

Sikap beradab ini sebenarnya bukan kata Fernando, akan tetapi amant konstitusi, yakni di sila kedua Pancasila.

“Di Sila ke 2 ; kemanusiaan yang adil dan beradab, jadi demokrasi kita harus kita lakukan dengan beradab dengan tidak menyebar hoaks dan ujaran kebencian,” tukasnya.

Pun jika tidak sepakat dengan apa yang disampaikan, setidaknya sepakatlah dengan agama masing-masing. Dan di dalam setiap agama ternyata semua melarang membuat dan menyebarkan hoaks, serta hatespeech.

“Saya yakin di setiap agama kita melarang hoaks dan ujaran kebencian. Jadi, ayo sama-sama kita dukung pemilu dan pilpres tidak ada lagi hoaks dan ujaran kebencian,” pungkasnya.