“Kita ingin lihat seperti apakah dokumen-dokumen terkait trading tersebut. Mulai dari kapan adanya transaksinya, seperti apa transaksinya, berapa nilai besarannya pada saat transaksi, kemudian seperti apa klausulnya di kontrak yang mereka ada,” ucap Asep.
Pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen di AS, sambung Asep, sebagai pembanding dengan dokumen yang diperoleh dari PT Pertamina. “Karena kalau satu dokumen saja tidak memungkinkan karena tidak ada pembanding apakah benar dokumen si salah satu pihak. Tapi kalau kita punya dokumen dua-duanya pihak terkait itu bisa kita bandingkan dan itu akan jadi bukti valid untuk perhitungan juga,” ujar Asep.
Sementara terkait BPK, kata Asep, terkait audit perhitungan terhadap kerugian keuangan negaranya. Terlebih, pasal yang digunakan KPK untuk Karen Agustiawan adalah Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor tentang kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
“Jadi BPK adalah pihak yang melakukan perhitungan terhadap kerugian keuangan negaranya,” pungkas Asep.
KPK sebelumnya telah menahan tersangka Karen Agustiawan. Dalam kasus ini, diduga proses pengadaan LNG sebagai sebagai alternatif mengatasi kekurangan gas di Tanah Air tak dikaji. Karen Agustiawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina juga tak melaporkan keputusannya ke dewan komisaris.
“GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction) LLC Amerika Serikat tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” ucap Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, (19/9).
Seharusnya, kata Firli, pelaporan dilakukan karena akan dibawa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Atas dugaan perbuatannya, Karen membuat negara merugi sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat atau Rp 2,1 triliun.
Penyebabnya, kargo LNG yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik. Akibatnya kargo over supply, PT Pertamina akhirnya membuat penjualan di pasar internasional dengan kondisi rugi. Padahal, komoditas ini juga tak pernah masuk ke Indonesia dan digunakan seperti tujuan awalnya.
“Sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” kata Firli.