HOLOPIS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Fauzan Nurhuda Yusro memberikan respons terhadap adanya wacana Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI, Muhadjir Effendy yang mewacanakan agar ibadah haji dilakukan 1 (satu) kali saja.
Menurutnya, wacana tersebut perlu didalami lebih lanjut dan dikaji secara empiris oleh semua stakeholders terkait.
“Fakta sejarah, bahwa Nabi Muhammad melaksanakan haji hanya sekali sepanjang hidup beliau. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah, apakah usulan Menko Muhadjir Effendy ini adalah sebuah terobosan bijak ataukah hanya pemanis bibir semata? ini yang perlu kita bahas,” kata Nurhuda dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Sabtu (26/8).
Tentu tak bisa dipungkiri bahwa antrean panjang dalam pelaksanaan ibadah haji telah menjadi persoalan yang membutuhkan solusi tuntas. Setiap tahun, kata Nurhuda, ribuan jamaah haji Indonesia harus rela bersabar dan menantikan giliran mereka, bahkan hingga bertahun-tahun.
“Fenomena ini, yang seringkali mengundang keluhan dari banyak pihak, menjadi pemicu utama lahirnya wacana ini. Dalam konteks yang lebih luas, larangan berhaji berulang dapat saja menjadi solusi efektif untuk mengurangi antrean yang panjang,” tandasnya.
“Namun, pertanyaan mendasar yang harus kita pikirkan adalah, apakah larangan semacam ini akan berdampak positif secara keseluruhan? Dan apakah hal ini sesuai dengan semangat ibadah haji itu sendiri?,” tanya Nurhuda.
Sekali lagi, Nurhuda menekankan, bahwa sejatinya tidak ada larangan bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali.
“Walaupun jika kita mengikuti Nabi Muhammad, beliau melaksanakan ibadah haji hanya sekali seumur hidup. Namun, perlu diingat bahwa situasi dan konteks berbeda pada masa Nabi dengan masa kini,” tukasnya.
Untuk itu kata Dia, kebijakan yang diambil harus mampu menjawab kebutuhan serta dinamika masyarakat yang beragam.
“Kita tidak boleh hanya melihat dari sudut pandang sejarah semata. Kita juga harus mempertimbangkan aspirasi umat saat ini. Jika melarang haji berulang bisa mereduksi antrean, tentu ini perlu dipertimbangkan dengan matang,” urainya.
Hal ini menunjukkan bahwa di balik wacana ini terdapat kompleksitas pemikiran yang tak bisa disepelekan begitu saja. Meski demikian, ada beberapa sudut pandang yang patut dijelajahi lebih dalam.
Misalnya, apakah memang keberadaan dana talangan haji menjadi penyumbang utama dari antrean panjang ini? Dalam hal ini, Ia menyampaikan bahwa “Dana talangan haji sebenarnya membantu banyak calon jamaah yang belum mampu secara finansial. Namun, tentu perlu aturan yang lebih jelas untuk mengatur siapa yang berhak mendapatkannya.”
“Kita berharap bahwa kebijakan yang diambil nantinya dapat menjawab tuntutan umat secara adil dan merata. Hal ini tentunya harus di cari jalan keluar terbaik, demi menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kolektif,” paparnya.