“Dalam kasus keluarga Mayor Dedi Hasibuan yang tunduk pada peradilan umum, hak untuk memperoleh bantuan hukum tersebut harus tunduk pada UU Advokat No. 18 tahun 2003,” tegas Gufron.

Selain itu, dasar hukum yang disebutkan oleh Kababinkum terkait kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971 juga dianggap Gufron salah dan keliru. Karena SEMA No. 2 Tahun 1971 sebenarnya melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952 yang sejatinya telah berulang kali dicabut.

PP No. 12 tahun 1952 telah dicabut melalui PP No. 6 tahun 74, yang juga telah dicabut melalui PP No. 53 tahun 2010, yang juga telah dicabut melalui PP No. 94 tahun 2021. Dimana dalam PP No. 94 tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 2 tahun 1971. Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya.

Lebih dari itu, aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum, yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 tahun 1971 sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan pemberi bantuan hukum/ pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 92 ayat (3), “semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”. Oleh karena itu merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat.

“Kerancuan hukum tersebut di atas diperparah oleh keengganan pemerintah yang belum juga merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menciptakan silang sengkarut penegakan hukum di Indonesia,” tandasnya.

Atas dasar itu semua, Gufron pun meminta agar Panglima TNI Laksamana Yudo Margono bisa meluruskan sengkarut persoalan pemahaman hukum yang dianggapnya keliru yang dilakukan oleh Kababinkum TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro.

“Meminta Panglima TNI melarang anggota TNI untuk bertindak sebagai advokat di peradilan umum dan jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan peran TNI harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Sekaligus, ia meminta agar Presiden Joko Widodo segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Peradilan Militer yang membuat proses penanganan hukum masih menyisihkan masalah.

“Mendesak Presiden Joko Widodo segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, yang telah menyebabkan disharmoni dan kontradiksi norma dan penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Nawacita Presiden sejak tahun 2014,” pungkasnya.

Sebelumnya diketahui Sobat Holopis, bahwa Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro menjelaskan, bahwa ada aturan yang memperbolehkan seorang perwira TNI menjadi penasihat hukum sipil. Hal ini didasari oleh surat Mahkamah Agung Surat Edaran Nomor 2 tahun 1971 yaitu Pegawai Negeri Sipil atau anggota militer dapat melakukan pekerjaan sebagai pembela atau sebagai penasihat hukum di tiga pengadilan.

Baca selengkapnya di halaman ketiga